Senin, 22 Februari 2016

Umbrella

Umbrella




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 12 February 2016

Aku harus cepat membereskan pekerjaanku dan harus segera pulang. Ini sudah terlalu larut, jam di dinding kafe menunjukkan pukul 10.03 pm, dan biasanya aku pulang pada pukul 09.00 pm. Astagaa.. Bahkan aku sama sekali belum mengerjakan tugas sekolah yang akan dikumpulkan besok. Benar-benar bodoh! S*it! Mengapa aku sial terus sih hari ini? Dan dengan gilanya aku sama sekali tidak membawa payung ataupun jas hujan.
Padahal cuaca akhir-akhir ini sedikit tidak bersahabat. Dan sialnya aku terjebak hujan di halte depan kafe tempatku bekerja dan hampir tengah malam! Dan sial, sial, sialnya tidak ada angkutan umum yang lewat! Oh God! Tak lama kemudian dari kejauhan aku melihat siluet seseorang membawa payung yang berjalan ke arah halte. Dan dilihat dari perawakannya, dia seorang pria.
“Hei, nona? Sedang apa di sini?” Tanyanya saat sudah sampai di halte dan berdiri hanya berjarak beberapa meter dariku. He’s so damn cool! “Kau tahu, di sini sedang hujan dan aku sama sekali tidak membawa alat peneduh. Dan, as you see, aku terjebak hujan,” Ku lihat dia hanya menganggukkan kepala. “Siapa namamu nona?”
“Jade, Jadelica Corton,”
“Perkenalkan, aku Petter Grey, kau bisa memanggilku Petter.”
Dan dia memperkenalkan diri dengan senyum yang menawan. Dan aku seakan meleleh dibuatnya. “Sepertinya payungku cukup lebar untuk digunakan dua orang. Stand under my umbrella if you can, Jade,” Apa dia berniat memberiku tumpangan? Tapi aku sedikit ragu, kami baru beberapa detik saling mengenal, dan dia langsung memberiku tumpangan begitu saja? Tapi, daripada aku terus berlama di sini, yang belum tahu pasti kapan hujan akan reda -atau mungkin besok pagi- langsung saja menerima tawarannya. Dan dia bersedia mengantarku sampai rumah.
Di perjalanan, kami berbicara layaknya seorang teman lama, dia orang yang easy going. Dan aku tahu dia seorang pelajar SMA ternama di London. Lalu kenapa seorang pelajar berkeliaran tengah malam seperti ini? Tak terasa aku sudah berada di depan gerbang rumahku. Dan aku berniat menawarinya untuk masuk sebentar ke dalam, tapi dia menolak dengan alasan ini sudah terlalu malam. Dan benar saja, jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 11.30 pm. “See you next night, Jade.” Ucapnya sebelum aku memasuki gerbang. Dan begitu aku sampai di depan pintu rumah, aku membalikkan badan dan ku lihat Petter masih berdiri di sana dengan wajah yang apa? Memucat? Aku tersenyum kaku ke arahnya dan melambaikan tangan sebelum aku benar-benar masuk ke dalam rumah.
Sepertinya akhir-akhir ini aku sering pulang larut dari pekerjaanku. Dan dengan kebetulannya juga saat aku akan pulang dan berhenti di halte, hujan turun dengan derasnya mengguyur aspal jalanan, tidak ada angkutan umum, dan diakhiri datangnya Petter dengan membawa payungnya, mengantarku pulang, dan berkata ‘see you next night’. Benar-benar seperti deja vu yang realistis. Tapi malam ini dia berkata lain, seolah dia tidak akan datang pada malam berikutnya.
“Pett, apa kau tidak ingin masuk dulu? Sekalian aku buatkan teh hangat,”
“Tidak terima kasih. Dan ku harap kau jangan merindukan aku. Karena we aren’t meet again in a long day and way,
“Maksudmu?”
“Kau akan mengerti.. Dan jangan lupa ucapkan salammu pada orangtuamu saat kau akan kerja besok.”
Dan aku membalasnya hanya dengan sekali anggukan lalu segera bergegas memasuki rumah tanpa harus menoleh lagi. Karena kali ini aku merasa tidak beres.
Seperti yang dikatakan Petter kemarin, aku memberi salam kepada orangtuaku sebelum berangkat ke kafe. Hujan lagi-lagi mengguyur jalanan. Dan kali ini aku melihat Petter sudah duduk di bangku halte. “Hai, Pett. Kau sudah lama?” Dan dia hanya tersenyum dengan wajah pucatnya. Apakah dia sakit?
“Dimana payungmu?” Tanyaku saat tidak melihat keberadaan payungnya.
“Kau tidak membutuhkan payung lagi mulai sekarang,”
“Maksudmu?” Dia hanya menyeringai dan mengambil sesuatu di dalam jaketnya dan mengeluarkan benda tersebut. Pisau?
“Untuk apa pisau itu?” Tanyaku was-was.
“Untuk mengambil kulitmu!”
Aku tersentak saat benda tajam dan dingin itu sudah bersarang di jantungku. Dan dia memainkan pisaunya di dadaku, sambil sesekali memutarnya. Dan pisau sial itu semakin merambat ke leher. Dan Petter menggerakkan pisau itu untuk memutuskan urat nadiku. Darah bercecer ke mana mana. Yang tentunya itu adalah darahku. Dan kau tahu? Tubuhku sekarang sudah tak berkulit. Kau tanya ke mana kulitku? Sialnya kulitku dijadikan kain payung oleh Petter yang gila itu.
“Kau yang ke-49, Jade.” Dan aku tahu masih akan ada korban lainnya setelahku. Baunya sangat anyir!
The End

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/umbrella.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar