Senin, 22 Februari 2016

Ladang Edelweiss

Ladang Edelweiss




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 17 August 2015

Entah dengan alasan apa Ayahku memberiku nama Jasmin. Ya, Jasmin yang berarti melati. Bunga yang begitu harum dan indah. Namun nasib dan takdirku tak seindah dan tak seharum namaku.
Tepat enam bulan yang lalu, dokter memvonis bahwa aku terkena penyakit leukimia yang mendekati stadium akhir. Terekam jelas dalam memoriku ketika dokter mengucapkan kalimat itu. Seuntai kalimat yang begitu sukses menjatuhkan impian dan harapan seorang gadis 19 tahun ini. Kalimat itu benar-benar seperti petir yang sukses menyambarku.
Saat itu aku benar nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Tapi sekarang aku sedikit mempunyai harapan, ah benar itu bukan harapan. Mungkin sebuah semangat, semangat baru yang membangkitkanku dari keterpurukan. Karena sekarang aku sedang memandang taman yang sederhana namun begitu indah. Aku bisa berkata begitu indah karena memang taman ini adalah hasil karyaku.
Selain itu, semangat dan keceriaanku yang masih berkobar hingga detik ini adalah karena hadirnya sosok cowok di sampingku saat ini. Cowok yang bisa membuatku begitu beruntung dan membuat semua cewek iri padaku adalah Rangga.
Pertemuanku dengan Rangga untuk yang pertama kalinya berawal dari saat aku memutuskan untuk berjalan-jalan –tentu setelah vonis itu– di taman dekat kompleks rumahku. Saat itu, aku berhasil menemukan sebuah taman dandelion yang letaknya di pojok kompleks taman itu. Inilah tempat yang cocok untukku. Mungkin aku bisa menemukan harapan di kumpulan bunga dandelion ini.
Menurut cerita, jika kita ngucapin sebuah permintaan dalam hati sambil meniup bunga itu, maka keinginan kita akan terkabul. “fiuuuh” aku meniupnya. Dandelion, semoga masih ada harapan kehidupan untukku. Setelah ngucapin permohonanku, tiba-tiba sosok cowok berdiri di sampingku seperti jelangkung yang datang tak diundang.
“Kamu apain dandelionku?” bentaknya.
“Ini kan taman milik umum, jadi aku bebas ngapain aja di sini.” balasku.
“Tapi bukan berarti kamu bisa niup bunga-bunga itu seenaknya! kamu bisa merusaknya. Biarkan tanaman itu hidup tenang karena dia juga berhak hidup seperti kita. Walaupun bunga dandelion ini bagi orang hanya sebagai rumput.”
Wow, menarik. Perkataannya inilah yang yang membuatku kagum. Ternyata pada saat seperti ini –saat isu global warming melanda– masih ada anak manusia yang sangat peduli dengan alam.
Setelah kejadian itu, aku makin sering pergi ke taman itu. Hanya sekedar berjalan-jalan menikmati udara segar dan untuk melihat cowok keren itu tentu saja. Walaupun agak galak tapi dia baik aku tahu itu. Semakin hari, aku makin akrab dengan cowok yang bernama Rangga itu. Kecintaan kita pada bunga membuat kita cocok. Suatu kali, saat aku pergi ke taman aku pingsan. Dan saat aku terbangun, tiba-tiba aku ada di rumah sakit. Ku lihat di sampingku ada Ayah, Ibu, adikku, dan… oh tidak apakah itu benar Rangga? Apakah dia tahu semuanya?
“Kenapa kamu nggak pernah bilang ke aku Jas?” Rangga terlihat begitu terpukul. Berarti dia sudah tahu? tapi seberapa jauh ia tahu?
“Sejauh mana kamu tahu?”
“Semuanya, Jasmin yang aku kenal. Terbaring di rumah sakit karena leukimia, dia keluar dari kampusnya dan melepaskan keinginannya untuk menjadi seorang dokter. Jasmin yang nggak mau dikemo.” Sejauh itu kah ia tahu tentang diriku?
“Bagaimana aku bisa memberi harapan pada pasienku kelak, jika aku sendiri saja tak punya harapan?”
Rangga terdiam sejenak untuk berpikir “Jadilah seperti bunga matahari yang selalu tumbuh menantang matahari.”
Kata-kata Rangga itulah yang membuatku semangat hingga hari ini. Hari-hariku habiskan di taman mini di pekarangan rumahku. Begitupun hari ini yang kuhabiskan bersama Rangga.
“Rangga, aku ingin menanam melati di taman dekat kompleks. Biar namaku bisa dikenang. Aku juga ingin melestarikan melati yang kini mulai dilupakan dan diganti tanaman pendatang.” Rangga pun setuju dan kita berangkat menanam.
Pagi ini aku ingin melihat tamanku sekalian menghirup udara segar. Tak berapa lama kemudian, ku lihat sosok anak yang usianya sekitar 12 tahun, sepertinya dia seorang loper koran. Aku penasaran, bagaimana ia bisa menjalani hidup ini? Kudekati ia.
“Dek, udah nggak sekolah?” tanyaku.
“Masih kok kak, habis nganter koran-koran ini, aku langsung berangkat sekolah.”
“Apa kamu nggak cape?”
“Kalau ku jawab nggak, itu bohong kak. Tapi kata Ibuku, kita harus bisa seperti bunga bugenvil, semakin ia kekurangan air, semakin keras pula ia berusaha hidup dan berbunga indah, ini Kak korannya.” lalu ia pergi. Aku masih tertegun dengan perkataannya.
Ku buka halaman koran itu dengan malas. Tiba-tiba perhatianku tertuju pada judul berita. “Kini Edelweis semakin langka”
Apa yang dipikirkan orang-orang itu? apa mereka tak punya rasa kemanusiaan terhaadap bunga malang itu? tiba-tiba muncul sebuah ide dalam otakku.
“Ayah, Ibu aku ingin piknik. Tapi ajak semuanya ya. Rangga juga diajak loh.”
“Memangnya mau piknik ke mana?” Tanya Ayah.
“Ke taman Edelweis.”
Mereka pun melotot seperti habis nelen sendok.
“Itu berarti di puncak gunung?”
“Iya yah… boleh ya. Kali ini aja yah.” Rengekku. Karena aku tetep kekeuh, akhirnya Ayah setuju. Dan tiga hari lagi kita berangkat. Jadi nggak sabar menanti hari itu tiba.
It’s show time. Hari ini aku akan pergi ke taman Edelweis. Dan semuanya sudah siap.
“Apa kamu yakin Jas?” Tanya Rangga ragu-ragu. Dan aku mengangguk mantap sebagai jawaban.
“Aku kan udah siapin ini buat para edelweis.” kataku sambil menunjukkan papan poster yang ku buat. Ada tulisan “Ijinkan aku tetap hidup dan biarkan aku tetap di habitatku” di sampingnya ada bunga Edelweis yang sedang menangis. Sepertinya kata-kata ini lebih tepat untuk diriku sendiri.
Setelah perjalanan selama dua jam, kita sampai di taman Edelweis. Aku pun langsung menuju ke edelweis-edeweis yang sedang bermekaran itu lalu menancapkan papan poster yang telah ku buat. Setelah selesai, aku kembali bergabung dengan yang lainnya. Udara gunung yang dingin, membuat kepalaku semakin berkunang-kunang. Oh Tuhan, apakah ini waktunya? Samar-samar ku dengar adikku bicara.
“Kakak seperti rumput liar yang hebat walau sering dicabut, tapi kakak tetap tumbuh”
“Jas, kamu seperti bunga matahari yang selalu bersemi dalam hatiku, selalu memberi semangat untukku, inspirasi serta keceriaan.” Kali ini aku nggak mungkin salah ini pasti suara Rangga.
“Bagi Ibu kamu seperti bunga bakung, orang nggak akan tahu keindahannya sebelum ia mekar.”
“Bagi Ayah, Jasmin seperti bunga teratai yang selalu mekar dengan sempurna. Sebuah bunga namun banyak makna.”
Tidak… aku tak bisa dengar kelanjutan kata-kata mereka, Tuhan… apa inilah waktunya?
Terimakasih, kalian semua inspirasiku. Aku ingin menjadi sekuntum edelweis dalam hati kalian. Biar sudah dipetik dari batangnya, tapi ia tak akan pernah layu. Selamat tinggal semuanya. Hanya senyuman terakhir ini yang bisa aku berikan.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-sedih/ladang-edelweiss.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar