Selasa, 16 Februari 2016

Dia Pergi Kau Kembali

Dia Pergi Kau Kembali




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 17 February 2016

Hari-hari terlewati bersama lirihnya air mata dalam batin. Ketaksanggupan mata menangis membuat batin semakin tersiksa. Mengingat kembali betapa besar karunia Tuhan karena pernah menghadirkannya dalam hidupku. Teralun gending suara hati, mengulas kembali masa yang telah lalu. Hingga esok nanti aku tetap menghias wajah dan cinta yang pernah dia hadirkan untukku dan akan ku simpan dalam sekotak cinta. Saat seperti ini aku hanya bisa menulis berbait-bait puisi sendirian, puisi yang selalu ku harap dapat sampai ke hatinya.
‘Ku rangkaikan bintang-bintang menjadi sebuah hati sebagai bentuk cintaku padamu, semalam aku telah terbang ke langit dan mengumpulkan bintang-bintang yang kini telah ku masukkan kotak dan ku lapisi sampul biru, tiada lain aku rela terbang sekali pun sayap-sayapku tak mau mengepak dan telah habis energiku hanya karenamu, semoga kau mau menerima pengorbanan ini..’
Aku tak sanggup lagi memegang kertas berwarna biru itu, surat yang ia sertakan bersama sebuah novel berjudul ‘Kamu Impianku’ dan sebuah buku catatan tebal bersampul pink saat ulang tahunku yang ke-24, tepatnya 8 tahun lalu. Saat itu aku dan dia memang sedang menjalin hubungan jarak jauh, kami sama-sama berkerja di kota yang berbeda, sehingga kami tak bisa menjalin kasih dan mempertemukan rasa rindu. Aku dan Qiqi dulu pernah mengikat hubungan sejak kita duduk di bangku kelas 2 SMA, dan kita sama-sama berharap untuk terus bersama hingga nanti, namun seiring bergantinya masa, Tuhan berkata lain. Tak peduli seberapa lama kita menjalin hubungan jika Tuhan berkata dia bukan jodohku, maka dengan keikhlasan hati harus ku terima.
Kini usiaku sudah 32 tahun, aku menikah ketika umurku 25 tahun dan sakitnya aku menikah dengan mantan pacarku yang ku yakini sebagai cinta pertama, dan cinta pertama yang ternyata ku nilai salah, namanya Sam. Pernikahanku dengannya sungguh pernikahan yang tak pernah ku harapkan, aku tak pernah mencintainya sedikit pun. Saat ini aku sudah memiliki anak perempuan yang sangat cantik, namanya Najmi Shiddiqia tapi aku lebih suka memanggilnya Mimi, usianya 7 tahun, matanya mirip denganku, kulitnya putih bersih, alisnya mirip dengan ayahnya. Namun ohh.. hidung dan bibirnya mirip dengan Qiqi, entah mengapa bisa begitu, mungkin aku yang sejak awal mengandungnya selalu teringat dengan Qiqi. Cintaku yang tertolak.

Takdir berbalik, kehidupan penuh dengan zig-zag dan teka-teki yang kadang tak kita inginkan. Ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, 2 tahun aku membesarkan Mimi sendiri, Sam menceraikanku karena ada orang ketiga, dan ia sudah menikah lagi dengan wanita lain, sudah ku duga, semasa muda memang sudah menjadi hobinya berganti-ganti wanita, aku sudah kebal dengan berbagai kabar jika ia selingkuh, namun yang membuat hatiku tersayat adalah Mimi, di saat usia seperti ini seharusnya Mimi merasakan kehangatan kesempurnaan keluarga, namun dengan mudahnya Sam meninggalkan kami. Lelaki tak bertanggung jawab!
“Mamaaaa.. kita hang out yuk Maaam.. bosen di rumah terus!!” suara lembut dan manja Mimi membuyarkan lamunanku, membuat semua rangkaian masa laluku menyeruak pergi, walau usianya masih belia Mimi sudah pandai dan sering menyisipkan kata-kata berbahasa inggris, aku memang sudah mengajarkannya sejak kecil. Ku usap kepala Mimi yang berambut hitam lebat itu, lalu aku memangkunya di pangkuanku.
“Ehm.. hang out, where place do you like honey?” aku bertanya sambil mengusap pipi chubbynya.
“Taman Mam, kita kan udah satu minggu lebih gak jalan-jalan Mam.. Mama sibuk sama nulis-kerja, nulis-kerja, kapan kita barengan?!” protes Mimi sambil memonyongkan bibir mungilnya. Aku sadar, beberapa minggu ini aku sibuk dengan karirku sampai aku tak meluangkan waktu untuk Mimi. “Iya, maafin Mama ya Honey, kalau gitu, we go now!! okay?!!” seruku. “Oke Mam!! Lets go!! Yeyeyeye.. hang out bareng Mamaaaa yeee!!” dia bersorak kegirangan. Aku dan Mimi menikmati jalanan yang ramai, hari ini adalah hari minggu, jadi wajar jika sedikit macet. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Mimi bertanya tentang ini-itu yang ia lihat dan yang ia rasa penasaran, ia memang anak yang suka berpikir kritis.
“Mamaaaa.. ada Pak Polisi Maaa.. itu kenapa kok mobilnya diusuruh nepi semua Ma? Penjahat ya Maa?” tanya Mimi betubi-tubi. Mendengar pernyataan anakku, hatiku gusar.
“Bukan Honey, itu ada pemeriksaan, yang surat izinnya gak lengkap bisa kena denda, tuh kita dapat aba-aba minggir, Mimi di dalem aja ya?”
“Enggak, Mimi mau ikut turun aja, mau tanya-tanya sama Pak Polisi!!” tolak anakku. Aku hanya mengiyakan permintaannya. Mobil kami pun menepi, aku segera turun, begitu juga Mimi. Salah satu polisi itu meminta aku menunjukkan surat-surat mengemudiku dan ku lihat Mimi nampak serius memperhatikan Sang Polisi.
“Lili?” suara Polisi itu mengagetkanku, dadaku bergejolak, panggilan itu.. aku menatap wajah polisi berkacamata hitam itu, dan kemudian Sang Polisi melepas kacamatanya. Betapa terkejutnya aku.
“Q-Qiqi? Ya Allah.. A-anta jadi Polisi?” aku terbata, memandang mantan kekasihku yang hingga saat ini masih aku cintai. Ia tersenyum pilu saat melihat Mimi menggandeng tanganku.
“Anak anti Li? Udah besar ya?” tanyanya, hatiku tersayat. Pertanyaan itu bukan suatu pertanyaan bahagia yang harus aku jawab dengan nada bahagia.
“Iya Qi, Anak ana, Miimi..” kemudian aku memandang Mimi dan memperkenalkan Mimi dengannya. Mereka pun berkenalan dan entah mengapa wajah mungil Mimi seketika terlihat cerah dan bahagia sekali, seperti menemukan sosok yang selama ini hilang.
“Li.. nanti malam ana boleh ya ke rumah anti? Ana udah tahu kalau anti cerai sama Sam, boleh kan?” tanya Qiqi, tanpa ragu aku mengiyakan permintaannya. Setelah Qiqi memeriksa surat izinku, kami pun diperbolehkan pergi. Entah mengapa saat bertemu Qiqi rasa kehidupan bahagiaku seperti datang, bak semilir angin yang menyejukkan musim panas bertahun-tahun di padang sahara.
Gemerlap bintang bertaburan di langit kelam. Suara binatang malam bernyanyi memecah keheningan, sinar rembulan bulat sempurna, warna kuning keemasannya bagai sebongkah emas yang mengkilat. Seusai memasak makan malam aku segera mencari Mimi, karena sejak tadi sehabis Maghrib tak ku dapati ia menemaniku memasak. Aku berjalan menyusuri ruang demi ruang di dalam rumahku dan ku panggil-panggil namanya, namun tak juga ku temukan. Tak sengaja mataku menangkap basah pintu ruang tamu terbuka, aku segera menghampirinya, tapi ternyata saat pintu akan ku tutup terdengar suara kecil bersenandung merdu, tidak lain itu adalah suara Mimi. Aku mendapatinya duduk di bangku beranda, aku pun bernapas lega. Ku hampiri anak semata wayangku itu.
“Aduh Honey, Mama panggil-panggil kok gak ada jawaban? Ternyata Mimi di sini,”
“Sorry Maam.. Mimi gak tahu, Mimi lagi nunggu Papa Qiqi, kan kata Papa mau ke sini,” jawab Mimi polos. Aku tersentak mendengar Mimi menyebut Qiqi sebagai ‘Papa’. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba sebuah mobil Kijang hitam berhenti di depan gerbang, tak lama kemudian turunlah seorang pria yang masih mengenakan seragam Polisi, tak lain itu adalah Qiqi. Mengetahui itu Mimi langsung berlari menyambutnya.
“Papaaaa.. kok lama banget?” tanya Mimi sambil menggandeng tangannya, hatiku semakin teriris. Ku hela air mataku yang mengalir, tak ingin Mimi ataupun Qiqi melihatnya. Aku pun mempersilahkannya masuk ke dalam.
Kami banyak berbincang-bincang, Mimi nampak sangat senang dan bahagia dengan kehadiran Qiqi. Kami juga makan malam bersama. Di meja makan Mimi tampak manja pada Qiqi, padahal selama ini aku tak pernah melihat Mimi sedekat ini dengan Sam, ayahnya sendiri. Seusai makan kami juga menyempatkan diri untuk berbincang-bincang lagi di ruang tengah. Mimi juga banyak bertanya mengenai pekerjaan Qiqi, Mimi juga banyak bercerita tentang hari-harinya yang sepi tanpa seorang Ayah, dari nada bicara Mimi seperti tiada rasa sesal yang mendalam karena telah kehilangan Ayahnya.
Hari semakin kelam. Nuansa rumah yang selama ini sepi kini kembali menemukan keceriaannya, semenjak kedatangan Qiqi, Mimi menjadi manja, sangat manja. Ku lirik jam di dinding, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku segera menyuruh Mimi untuk tidur. Awalnya ia tidak mau dengan alasan ia masih ingin bertemu dengan Qiqi, namun Qiqi meyakinkannya bahwa esok ia akan datang dan mengajaknya jalan-jalan, akhirnya Mimi pun menurut.
“Li.. ada yang mau ana tanyakan sama anti..” kata Qiqi memecah keheningan setelah Mimi pergi ke kamarnya. Aku tergugup. “A-apa Qi?”
“Apa yang selama ini anti ceritakan sama Mimi tentang ana? Kenapa tiba-tiba Mimi panggil ana Papa?” mendengar pertanyaan itu aku tertunduk lesu, air mataku berlinang dan aku tergugu.
“Mungkin karena sejak ana mengandungnya, ana selalu memikirkan anta, tak pernah ada rasa cinta buat Sam, pernikahan ana dengannya karena terpaksa, ana hanya menuruti kata-kata Ibu, padahal ana sudah meyakinkan Ibu kalau Sam bukan laki-laki baik, tapi Ibu tetap antusias menikahkan ana dengan dia, dan beginilah akhirnya. Ana hanya pernah bercerita sedikit tentang anta ketika anta kasih ana kado novel dan sepucuk surat itu.” aku menjelaskan.
“Lalu Sam sering pulang ke sini?” tanya Qiqi, aku menggeleng.
“Mendengar Mimi memanggil ana Papa rasanya ada yang aneh, Li.. perlu anti tahu, sampai saat ini ana belum penah mencoba mencintai wanita lain selain anti, sedari dulu ana sudah bertekad untuk hidup dengan anti, karena ana yakin Allah pasti memberikan jalan untuk kita, sekali pun anti sudah memiliki anak,” kata Qiqi.
“Enggak Qi, anta gak boleh sama ana, ana cuma seorang janda yang diceraikan suaminya, kita udah gak pantas? Lupakan semua tentang impian-impian kita, semuanya berhenti sampai di sini, ini jalan kehidupan ana, dan anta harus menemukan sosok wanita yang jauh lebih baik dari ana, ana yakin orangtua anta juga tidak akan setuju jika anta menikah dengan ana!” aku menolak tegas. Tapi Qiqi tetap meyakinkan, aku tidak bisa berkutik, rasa cintaku padanya masih tetap ada, rasa cinta seperti awal kali aku bertemu dengannya, bahkan rasa cinta seperti di masa kita muda dulu.
“Ana sudah bilang sama Ibu, kalau ana akan tetap cari anti dan ana mau hidup sama anti, lagi pula dengan hadirnya Mimi ana merasa sudah menjadi Papanya sekali pun dia bukan anak kandung ana, hidung dan bibirnya sangat mirip ana, jadi bukan hal yang mustahil jika ana menjadi Papanya untuk saat ini..” tuturnya. Kemudian ia menatapku, mataku yang sembab dengan air mata ia hapus dengan tangannya yang penuh dengan kelembutan.
“Li.. sampai kapan pun anti tetap menjadi Lili yang dulu pernah ana cintai, ana tidak salah memilih wanita, Lili yang sabar dan kuat. Untuk saat ini ana tidak mau berjanji untuk membahagiakan kalian, tapi ana akan berusaha untuk mengganti kehancuran yang pernah kalian rasakan, Li.. apa Lili masih sayang dan cinta sama ana?” ia bertanya, merasuk ke dalam jiwa, dan akhirnya aku pun lengah. Aku mengangguk mantap.
“Kalau begitu besok ana akan lamar anti. Sam tetap Ayah Mimi, tapi ana yang akan menemani dan membahagiakan Mimi, ana terima anti apa adanya, sekarang mimpi-mimpi masa muda kita sudah terwujud, kita dengan cita-cita kita dan kita dengan masa depan kita,” Qiqi memelukku dan mencium keningku.
Satu hal yang bisa membuat kita bangkit dari kelamnya cinta pertama adalah dengan hadirnya semangat dari sosok yang benar-benar tulus mencintai kita apa adanya, saat ini aku baru mengerti bahwa sesungguhnya cinta pertama adalah cinta yang mau menerima kita dengan tulus dan apa adanya, bukan cinta yang baru pertama kita rasakan kemudian datang dan pergi tanpa kejelasan dan akhirnya menelantarkan kita pada pulau kekecewaan.
THE END

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-islami/dia-pergi-kau-kembali.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar