Selasa, 16 Februari 2016

Aku Dan Ibal (Part 1)

Aku Dan Ibal (Part 1)




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 17 February 2016

“Hoi. Ngapain lo? Tumben di perpus?” Aku menoleh pada sumber suara.
“Eh lo Bal. Gue cuma lagi pusing aja sama ini pr. Kadang di perpus ada jawabannya. Ternyata gak.”
Aku menunjukkan buku paket matematikaku. Ibal tergelak melihatnya. “Kenapa lo gak suka matematika Va?” tanyanya seraya duduk di sampingku. “Matematika itu cape Bal, rumit lagi. Lo enak pinter. Pelajaran apa pun bisa, nah gue.” Aku menutup muka dengan buku. Aku dengan sahabat kecilku yang jahil itu memang sangat berbeda. Teman-teman menyebut kami dengan panggilan si cerdas dan si dungu. Jahat kan? Tapi memang itu sih kenyataannya. Ibal selalu langganan ranking 1 dari SD. Sedangkan aku, pernah dapat rangking 7 saja senangnya minta ampun.
“Ini enak loh Va, tinggal lo kaliin, terus lo masukin rumusnya. Nah lo bagi deh.” Bukannya mendengar, yang diajak bicara sudah membuka buku novel di sudut perpus, Ibal menggelengkan kepalanya. “Emanglah lo ya. Belajar dulu Ava!” serunya tegas. Ia menarik novel yang baru saja ingin aku baca, lalu menarikku kembali ke kursi.
“Kalau gini terus, kapan mau dapet rangking bagus?”
“Gue bosen Bal,” aku menatapnya dengan tatapan ‘plis, pinjemin buku pr lo’
“Lo emang selalu mau yang instan. Ya udah deh, ambil aja di tas gue.”
“Va.” serunya.
“Apaan?” jawabku sekenanya sembari terus mencatat hasil pekerjaan Ibal. Sebentar lagi bel dan dari 10 soal belum ada satu pun yang ku jawab.
“Cinta tu apa Va?” terdiam, aku menoleh padanya. Sejurus kemudian.. “Hahaha…” Ibal merengut melihatku yang tertawa sampai ke luar air mata. Sahabat kecilku yang pintar segalanya -termasuk memasak, tanya tentang hal yang gak terlalu susah ditebak?
“Kenapa nanya itu anak kecil?” tanyaku di sela-sela tawa. Usia Ibal memang lebih muda.
“Gue gak tahu, makanya gue tanya sama lo.”
“Cinta tuh ada yang bilang dua orang yang saling mencintai. Ada yang bilang virus yang susah dilupain, sampai lupa waktu, lupa makan karena selalu mikirin dia, pokoknya macam-macam deh. Kenapa, tumben lo nanya? Kan biasanya gue yang selalu nanya apa-apa sama lo.”
“Gue kayaknya lagi jatuh cinta nih.” Ucapnya pelan. Aku terdiam. “Salah ya Va? Kok lo diem aja?”
“Eh, oh, enggak kok. Emang lo lagi suka ma siapa?”
“Lo tahu Qisel kan, anak kelas sebelah yang anggota cheer itu. Dia yang ngajakin gue jalan sebenernya.”
“Kok bisa? Emang lo deket sama dia?” Ibal setengah mengangguk.
“Sejak kapan lo deket sama dia?” tanyaku dengan nada kurang suka. Entah kenapa, ada sedikit rasa kecemburuan bagiku. “Yaa.. udah dua bulanan sih.”
“Dua bulan!?” seruku. “Selama itu dan lo gak pernah cerita sedikit pun sama gue?”
“Gue cuma nunggu waktu yang tepat Va, lagi pula gue juga gak ada apa-apa sama dia.”
“Ya tapi kan seenggaknya lo cerita sama gue. Gue selalu cerita kan semuanya sama lo.”
“Iya sih Va.. tapi gue rasa itu bukan hal yang perlu gue omongin sama lo.”
Sejurus kemudian, ekspresi Ibal seperti menyesali perkataan itu keluar dari mulutnya. “Va maksud gue..”
“Suka-suka lo deh.” Aku segera melenggang ke luar perpustakaan.
“Ava! Tunggu gue!” tanpa menggubris, aku segera pergi ke kelas.

“Nah, coba sekarang kita ulangi kembali materi..” aku menghembuskan napas. Pelajaran matematika ini sungguh tidak bisa masuk ke otakku. puk! tiba-tiba ada kertas yang mengenai kepalaku. “Perhatiin gurunya dong.” tanpa pikir panjang, aku meremas-remas kertas itu lalu melemparnya ke keranjang sampah di samping pintu kelas. Ibal yang duduk di belakangku kembali melemparkan kertas. “Kok dibuang? Masih marah lo ya.” Aku hanya menatap sekilas, lalu kembali membuangnya. Lagi-lagi Ibal melemparkan kertas
“Oi, jangan marah lagi lah. Nanti sore gue traktir bakso 3 mangkok deh.” Baru saja akan ku balas, tiba-tiba..
“Ava Paramitha, Iqbal Samudra, keluar kelas saya dan masuk saat jam saya sudah berakhir!” seru Pak Budi, guru yang sedang mengajar sambil mengacungkan tongkat yang dibawanya untuk menunjuk papan. Aku menunduk, lalu segera bangkit dari bangku. Ibal menghela napas, lalu mengekori langkahku.
“Lo sih. Jadi ketahuan kan.” Gumamnya. “Enak aja salah gue. Elo tuh yang lempar-lempar kertas. Gak sadar diri.” Kilahku ketus. Karena sudah malas dan pasti akan membosankan menunggu di depan kelas, aku memilih pergi ke kantin.
“Oi, mau ke mana?” tanya Ibal seraya mensejajari langkahku.
“Kantin, laper gue,”
“Traktir gue ya?”
“Enak aja. Masa tiap hari gue traktir lo. Lo lah traktir gue.”
“Hahaha. Ya udah yok, gue traktir lo mie ayam 5 porsi, habisin sendiri ya, gue gak mau bantu.”
“Lo kira perut gue karung!” aku mencibir padanya, lalu tertawa bersama. Dia memang selalu tahu cara agar kami bisa selalu baik-baik saja.

“Hei, Ibal gak masuk sekolah?” tanya Ikhsan, ketua kelas, dan ada absen juga pulpen di tangannya. Aku yang sedang membaca komik menoleh padanya, lalu ke bangku Ibal bergantian.
“Gak tahu gue. Tadi pagi kami gak berangkat bareng, gue duluan. Biar gue teleponin deh.” Baru saja aku mau menelepon, tiba-tiba masuk seorang nenek lampir.
“Eh! Siapa ketua kelas?” serunya cempreng sampai-sampai satu kelas menoleh padanya. Ikhsan mengangkat tangan, “tolong buat di absen ya, Iqbal Samudra sakit. Dia bilang sama gue tadi.” aku menatap Qisel tidak percaya. Kok Ibal gak bilang sama aku? Kenapa malah sama dia?
Qisel menatapku sinis, “Kenapa? lo gak percaya? Tadi dia teleponin gue. Katanya sahabat, kok gitu aja gak tahu?” Ia lalu melenggang ke luar dengan gaya sok-nya.
“Kok dia gak bilang sama lo Va?” tanya Ikhsan, “dia kan sahabat lo udah lama. Tetanggaan lagi.”
“Gak tahu ah.” Ujarku malas. Ikhsan mengangkat bahu, lalu kembali ke mejanya karena guru sudah masuk.

“Eh anak Bunda udah pulang.” Aku tersenyum tipis seraya mencium tangan bunda.
“Lagi ngapain Bun?” tanyaku. Bunda mengemasi makanan-makanan dan memasukkannya dalam tas kain berukuran sedang.
“Ini, si Ibal lagi sakit kan. Sayang, gak ada siapa-siapa di rumah. Via sama Maulana lagi dinas, sedangkan Mbok Naimah tadi udah pulang kampung. Toh keluarga mereka juga sering bantu kita.” Tante Via dan Om Maulana adalah ayah dan Ibal. Mereka selalu baik terhadapku.
“Ya udah Bun, sini biar Ava yang anterin. Itung-itung jenguk dia juga.” Masih dengan menggunakan seragam sekolah, aku berjalan di bawah terik matahari menuju rumah Ibal yang terpaut 3 rumah denganku mobil siapa nih? Pikirku heran. Rasa-rasanya seperti bukan mobil keluarga Ibal. Alah paling temen.
Aku mengetuk pintu belakang rumah. Oh iya, Ibal kan sakit. Aku masuk ke rumah Ibal dan naik ke lantai dua pelan-pelan, agar bisa memberikan kejutan untuknya.
“Ib..” kata-kataku terhenti. Dari pintu kamar yang terbuka, aku bisa melihat Ibal berdua dengan perempuan di sana. Berbincang, di ranjang yang biasanya hanya aku dan Ibal yang menempatinya. Qisel.. Mataku tiba-tiba memanas, dan aku segera membalikkan badan sebelum bulir di mataku menetes. Aku bergegas turun dan meletakkan makanan itu di meja makan. Aku berlari pulang dengan perasaan yang campur aduk. Sedih, kecewa, marah, entahlah. Tidak tahu mengapa bisa sesakit ini.
Sudah 3 hari sejak kejadian itu dan aku masih belum berkomunikasi dengan Ibal. Dia juga belum masuk sekolah. Entahlah, semoga dia cepat sehat dan dapat bermain dan bercanda denganku lagi. “Eh..” lamunanku terbuyar. Ibal berjalan masuk ke dalam kelas dan menaruh tasnya di bangku belakangku. “Udah sem..” kata-kataku terhenti.
“Oi, pinjam catatan pelajaran dong.” Ibal berbalik dan berbicara pada Sella yang duduk di belakangnya. Sella menatapnya bingung, lalu melihat ke arahku. “Hei, Bal gue lagi ngo..”
“Cepetan, mana sih bukunya. Lelet amat.” Ketus Ibal, kebiasaannya kalau sudah kesal. Sella buru-buru memberikan buku catatannya, lalu Ibal memasukkannya ke laci meja.
“Buku gue kan ada Bal, ngapain pinjam punya Sella.” Ucapku padanya. Ibal hanya melirik sekilas.
“Malas ah. Nanti ditagih-tagih ke rumah.” Ketusnya. Aku terdiam. Kapan Ibal pernah bicara seperti itu padaku?
“Itu kan…”
“Dod, main futsal yuk?” Ibal bangkit dan bergegas pergi dengan Dodi bahkan sebelum aku sempat membalas perkataannya.
Jujur, aku selalu ke rumahnya bukan hanya untuk mengambil buku. Tapi aku ingin bisa ada bersamanya, melihatnya serius menulis catatan, bertemu dengan Ibal yang polos dan Ibal sahabat aku dari kecil. “Kenapa lo sama Ibal Va? Kok renggang gitu.” Tanya Rifa, kawan sebangkuku yang ternyata melihatku dengan Ibal tadi. Aku mengangkat bahu. Hm.. kadang mood Ibal emang lagi gak bagus. Kalau gitu nanti aku hibur dia ah!
“Hei.” Aku memegang lengan Ibal. Hari ini ayah tidak bisa tepat waktu menjemput karena masih ada meeting dan aku memilih untuk pulang bareng Ibal naik motornya, sekalian aku mau tanya ada apa dengannya tadi. “Apaan sih Va.” Jawabnya ketus. Ia mengibaskan lengannya dengan keras hingga aku hampir terjatuh. Namun tiba-tiba ada yang memegangi lenganku.
“Hati-hati dong Bal. Jangan kasar sama cewek.” aku menoleh. Nico, kapten tim futsal sekolah yang barusan memegangiku menatap Ibal tajam.
“Bukan urusan lo kan.” Balas Ibal sinis. Sejurus kemudian ia berbalik dan melangkah pergi.
“Lo gak papa?” tanya Nico. “gak luka kan?”
“Gue gak papa kok. Makasih ya udah nolongin gue tadi.” ucapku. Aku baru mau berjalan pergi ketika Nico memanggilku.
“Lo pulang bawa motor ya? Hati-hati ya.”
“Eum.. enggak aku mau naik bus. Aku gak bawa motor hari ini.”
“Jangan naik bus, bahaya kalau cewek sendirian. Gimana kalau lo bareng gue aja? Kebetulan gue bawa mobil, mau ya?”
“Gak apa-apa nih? Gak ngerepotin?” tanyaku memastikan.
“Enggak kok, gak apa-apa.” Kami pun berjalan menuju mobil Nico yang terparkir tak jauh dari situ.
“Kok di belakang sih, santai aja lagi.” Ujar Nico setengah tertawa. Aku yang baru akan membuka pintu belakang cengengesan, lalu duduk di depan. Kami mengobrol panjang lebar guna menghilangkan rasa bosan. Jalanan macet, membuat kami hampir bosan menunggu. “Rumah lo di mana?” tanyaku.
“Di Indah Regency, kalau lo?” tanyanya kembali sembari melajukan mobilnya sedikit.
“Sama dong. Tapi kok gue gak pernah lihat lo ya?”
“Gak tahu deh.”
“Lo blok apa?”
“Gue blok G, lo?”
“Pantaslah, beda blok. Gue blok A, sama kayak Ibal..”
“Kalau boleh nanya ya, lo sama Ibal pacaran ya?” tanya Nico sejurus kemudian. Aku melongo mendengar pertanyaannya, lalu tertawa lepas. “Jeh. Kita nanya dia ketawa.”
“Hahaha. Engga, kami gak ada hubungan apa-apa kok. Kami tuh sahabatan dari kecil, makanya deket.”
“Oh.. banyak yang ngira kalian tuh pacaran loh.”
“Oh ya? Siapa?”
“Aku, contohnya.”
“Kok gitu?” tanyaku antusias.
“Habis ke mana-mana kalian berdua, pulang barengan, berangkat sama-sama, kerjain pr berdua, udah kayak orang pacaran beneran deh.”
“Hihi. Enggak kok kami cuman sahabatan.” Nico mengangangguk-angguk tanda mengerti. Aku kembali fokus melihat jalanan. Kami terjebak macet 2 jam tadi, dan aku berharap bunda tidak mencemaskanku. “Oh iya Va. Tadi itu Ibal kenapa?” tanyanya lagi. Aku terdiam.
“Gak tahu deh. Gue tadi mau ajak dia pulang bareng, tapi dia kayaknya lagi gak mood, ya udah deh.”
“Tapi kan gak seharusnya dia ngebuat lo sampai jatuh gitu.”
“Iya tapi kan yang penting aku gak apa-apa juga. Emang salah aku tadi, udah ngegangguin dia.” Balasku. Entah itu jujur dari hati. Entahlah..
“Ya tapi kan..”
“Udahlah Nic. Lo juga ngapain perhatian amat sih, hahaha. Biasa aja lagi.”
“Gimana gak perhatian, orang gue suka sama lo.” Lirih Nico pelan, pelaan sekali.
“Eh, apa lo bilang? Gak kedengeran tadi.”
“Gak ada, gak ada.” Alah, padahal aku yakin dia ada bicara yang penting tadi.
“Oh iya, yang mana rumah lo?”
“Itu pas di depan, yang pagar biru. Makasih ya, tumpangannya.”
“Iya, sama-sama.” Aku menutup pintu mobil, lalu segera masuk dalam rumah saat melihat mobil Nico sudah menjauh.
“Eleh-eleh. Sama siapa tuh tadi? pacarnya ya?” tanya bunda sesaat setelah aku menutup pintu pagar.
“Apaan sih Bun. Bukan itu Nico, temen aku.”
“Temen tapi demen kan..”
“Ish Bunda nii…” aku segera masuk dalam rumah. Di luar udaranya sungguh panas.
Tiba-tiba aku menatap sesuatu di atas meja makan. Setelah ku hampiri, benar saja. Itu tas yang aku gunakan untuk mengantar nasi Ibal. “Bun tadi Ibal ke sini ya?”
“Iya, sebelum kamu pulang tadi. Dia kayak nyariin kamu loh, dia celingak-celinguk. Bunda nanya nyari apa, dibilang bukan apa-apa. Tumben juga kamu gak pulang sama dia. Rupanya anak bunda udah ada cowok baru..”
“Bundaa..”
Keesokan harinya di sekolah, aku berniat menanyakan perihal kemarin dengan Ibal. Namun, susah sekali mengajaknya bicara. Dia seakan-akan menghilang ketika jam istirahat dan baru kembali jam pelajaran berikutnya sudah dimulai. Itu pun tanpa obrolan di antara kami. Jujur aku sedikit merasa sedih dan sepi, karena biasanya dari dulu Ibal selalu bersama denganku, menemaniku, membelaku, dan sekarang? Karena tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku mengirimkan pesan untuknya.
“Ketemuan yuk. Gue mau gomong.” Lama, hampir 10 menit aku menunggu balasannya.
“Sama, gue tunggu sekarang di taman belakang.” Singkat sekali balasannya. Gitu aja? Dengan perasaan yang kesal akhirnya ku pergi ke taman belakang sekolah.
“Mau ngomong apa?” tanya Ibal to the point.
“Lo duluan aja.”
“Gue pacaran sama Qisel.”
“Se.. se.. sejak kapan?” tak ku sangka Ibal akan bilang seperti itu.
“Udah hampir satu bulan. Va mending kita gak usah komunikasi lagi. Qisel gak suka gue dekat sama cewek lain dan lo juga udah punya Nico. Gue rasa kita gak usah kayak dulu lagi.”
rasanya seperti tersambar geledek ketika Ibal mengatakannya. Ingin rasanya aku bilang, bahwa aku gak ada apa-apa sama Nico, dan semua hal tentang Qisel. Namun, apa yang dapat aku katakan hanya.. “Iya kalau itu memang mau lo.” Aku menunduk. Empat belas tahun persahabatanku bahkan bisa dikalahkan dengan satu bulan tiga bulan perkenalan. Hancur sudah pertahananku. Air mataku mengucur deras, dan itu pertama kalinya aku menangis gara-gara Ibal. Ibal terlihat terkejut dengan air mataku, namun dia terlalu pandai menyembunyikan tatapan itu. Aku hanya menatap matanya dengan tatapan kosong. “Gue sayang lo, Bal.” Aku berbalik, dan aku selesai.

Matahari sudah kembali bersembunyi ketika tiba-tiba saja aku ingat pada Ibal. Sudah hampir tiga bulan aku tidak berkomunikasi dengannya. Dia selalu menghindar setiap kami berpapasan, dan aku pun tidak berniat untuk menyapanya. Bunda dan tante Via merasa aneh, namun aku selalu mengarang alasan acapkali diajak untuk kembali bermain dengan Ibal. Bukannya tidak mau, namun aku hanya tidak ingin melihat mata itu.
Mata yang tidak ada sinar di dalamnya. Aku tahu hal itu. Hanya aku yang tahu. Mata Ibal yang hitam keabuan memang memiliki aura di dalamnya. Itulah yang membuatku selalu percaya, dan merasa terlindungi olehnya. Namun setelah bersama Qisel, aku merasa cahaya itu hilang. Persis ketika Ibal melihatku harus diopname gara-gara kecelakaan saat masih SD dulu, lalu dia bilang dia gak mau kehilanganku, dan aku juga mengatakan hal yang sama. Dulu. Tapi kenapa?
“Kriing kriing.” Lamunanku terbuyar. Layar handphone-ku menunjukkan nama Nico.
“Halo, iya Nic.”
“Va, lo ikut ke tempat sweet seventeen Rissa gak?”
“Ikut, acaranya bentar lagi kan?”
“Iya, lo pergi bareng siapa?”
“Gak tahu deh, kayaknya gue diantar aja.”
“Pergi bareng gue mau?”
“Weh, gak apa-apa nih?”
“Iya, gak apa-apa. Gue datang jam 8 tepat ya.”
Setelah satu-dua kata, aku mengakhiri obrolan, lalu mulai mencari baju untuk ku gunakan nanti. Pilihanku jatuh kepada baju dress tanpa lengan warna hitam selutut dan cardigan putih bergaris hitam. Memang dress code-nya adalah hitam putih. Aku juga memilih memakai wedges putih setinggi 10 cm. Sebenarnya itu punya bunda, namun bunda ngotot ingin aku memakainya. Karena sudah gak ada waktu dan aku belum apa-apa, aku akhirnya segera ganti baju, lalu turun ke bawah.
“Bunda aku pergi yaa.”
“Pergi ke mana lo?” tanya Kak Gina, kakak kandungku.
“Ke sweet seventeen si Rissa. Itu loh Kak, yang waktu kecil kita sering main bareng..”
“Lo mau pergi acara temen dan gak pake make-up?”
“Natural Kak.. lagi pula aku juga gak suka pakai make-up.”
“harus pakai Ava. Sini, biar Kakak yang pakaiin.”
Aku diseret Kak Gina masuk ke dalam kamar besarnya, lalu duduk di depan meja riasnya yang penuh dengan alat-alat yang tidak aku ketahui apa gunanya.
“Lo mau yang gimana, menor, mempesona, misterius, cantik, atau yang natural tapi mewah?”
“Terserah lo yang penting jangan menor.” Kak Gina memoles mukaku dengan krim dan bedak atau apalah yang tidak jelas itu. Aku hanya menutup mata, tidak peduli dengan Kak Gina yang rempong mencari ini atau itu.
“Kriing kriing.”
“Halo?” aku mengangkatnya tanpa ku lihat siapa yang menelepon. Mataku masih tertutup dan Kak Gina masih belum membolehkannya terbuka.
“Gue dah nyampe Va, lo turun aja.” Setelah berbasa-basi, aku menutup telepon.
“Kak, udah ya temen gue udah jemput.”
“Iyaa. Coba lihat di cermin, lo udah cantik.”
“Gue emang cantik dari duluu..” seruku PD. Tanpa mengindahkan kata-kata Kak Gina, aku segera mengambil tas dan turun menuju Nico.
“hai Nic, sorry gue telat..” aku menatap Nico. Namun tatapannya seperti terhipnotis sesuatu.
“Nic, Nico!” aku mengguncang bahunya. Seketika dia tersadar.
“Lo cantik banget malam ini Va.” Bibirku merona karena salah tingkah. Nico mengajakku masuk mobil dan kami segera pergi ke rumah Rissa.
“Happy birthday yaa Rissa.. aduh udah makin tua aja lo. Moga makin cantik deh, biar bisa ngalahin gue. Hehe.” Candaku pada Rissa sesampainya di sana. Ia nampak cantik dengan balutan dress warna hitam gold panjang. Rambutnya yang gelombang dijadikan sanggul dan diberi hiasan, semakin menambah kecantikannya.
“Makasih yaa Ava sayaang. Cantikan gue kalii..” kami berdua tertawa, lalu tak lama aku ke tempat teman-teman sekelasku.
“Hei, si Ibal mana? Kok gak kelihatan batang hidungnya?” tanya Rifa. Aku menaikkan bahu, lalu kembali meminum softdrink yang sedang aku minum. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada Qisel yang baru saja sampai di gerbang rumah Rissa, bersama.. Ibal.
“Hey, itu si Ibal sama Qisel. Dia pacaran sama Qisel ya?”
“Iya. Udah lama itu.” Sahutku sekenanya. Aku tidak lagi melihat mereka ketika aku beradu pandang dengan Ibal. Aku tidak ingin seperti mengharapkannya.
“Va, Ibal ngelihatin lo tuh.” Bisik Dinnah.
“Haha. Lucu kok Din.”
“Gue serius Va, lihat aja.”
Aku berbalik arah. Benar saja, Ibal sedang menatapku lamat-lamat. Namun, ada yang berbeda dengan matanya. Ia.. sedih. Aku selalu tahu tatapannya.
“Bener kan?” ucap Dinnah. Hanya ku balas dengan senyuman tipis.
“Va, temenin gue yuk.” Ajak Rifa.
“Mau ke mana lo?”
“Rio ajak ketemuan di taman depan, cuman gue takut pergi sendiri. Berdua yuk.”
“Ya udah deh.” Kami berdua pun beriringan menuju taman. Saat melewati Ibal, aku tahu ia ingin bicara, namun ia kembali menutup mulutnya.
“Itu Rio, yuk.” ucap Rifa senang sesampainya di taman yang berada di luar komplek perumahan Rissa.
“Gak usah deh Fa, gue di sini aja. Gak enak kan ganggu kalian.”
“Yaelah Va. Gak apa-apa lagi.” Aku menggeleng. Akhirnya Rifa pergi menuju tempat Rio. Aku menatap sekitar.
“Brum, brum, brum.” Telingaku seperti menangkap sesuatu. Suara apa ya? Kelihatannya dari ujung jalan, pikirku. Aku menyusuri jalan di samping taman sampai tiba di suatu jalan besar.
jalan apaan nih? Aku mengernyit saat melihat jalan itu sudah terkena banyak sekali gesekan, seperti roda kendaraan yang direm namun tetap dilajukan. “Bruuuum.” Tiba-tiba dari arah yang berlawanan banyak sekali lampu yang mendekat. Astaga. Aku baru sadar bahwa aku di tengah trek balapan.
“Tiin!”

sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/aku-dan-ibal-part-1.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar