Minggu, 21 Februari 2016

Badai Pasti Berlalu

Badai Pasti Berlalu




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 25 June 2014

‘KRIIING!’
Bel alarm berbunyi tepat pukul setengah enam pagi. Dengan malas, Kintan berusaha meraih jam bekernya, tetapi jam tersebut malah jatuh. Alhasil bunyi alarm mati dengan sendirinya. Sudah 10 menit ia terbangun, tetapi ia belum bisa lepas dari jeratan tempat tidur yang memang sangat hangat, karena pagi itu cuacanya dingin. Setelah berhasil mengumpulkan seluruh nyawanya, Kintan beranjak dari tempat tidur dan sigap menarik handuk yang tergantung di hanger sebelah lemari kamarnya.
Kintan, begitulah panggilannya. Nama lengkapnya Kintan Shafna Malik. Gadis cantik berambut hitam kecoklatan, matanya Ia berasal dari keluarga yang berada. Kedua orangtuanya bekerja di perusahaan yang sama. Ayahnya, menjabat sebagai direktur utama dan ibunya sebagai sekretaris kepercayaan perusahaan asuransi terkenal di Kota Kembang, kota dimana Kintan dan keluarganya tinggal sekarang.
Setelah Kintan bersiap-siap sekolah dan sudah rapi, ia menelusuri setiap bagian rumahnya untuk mencari siapa orang yang mungkin ada di sana.
“Lho, kenapa sepi sekali? Padahal baru jam 6 pagi rumah sudah kosong saja,” gumam Kintan dalam hati.
“Yah, pasti mama dan papa sudah berangkat kerja duluan. Pagi sekali berangkatnya, pulangnya juga larut malam. Kapan ada waktu hanya untuk sekedar makan bersama?”
“Sarapan sendirian lagi deh,” timpal Kintan. Ia mencoba tersenyum dan segera menyambar seiris roti tawar dan selai yang ternyata sudah tersusun rapih di atas meja makan.
Saat ini, Kintan tercatat sebagai siswa kelas IX di SMP Bina Nusantara. Ia termasuk anak yang dikategorikan istimewa di sekolahnya. Bayangkan saja, dari kelas 7, ia selalu masuk peringkat 3 besar paralel. Hari ini adalah pembagian rapot sisipan, dimana setelah 2 minggu yang lalu Kintan mengikuti Ulangan Tengah Semester Ganjil.
“Kintan!” panggil Dahlia yang tengah duduk di bangkunya, ketika Kintan memasuki kelas.
“Selamat pagi, nona cantik. Tak biasanya raut wajahmu tampak sumringah pagi ini. Ada apa?” goda Kintan yang sekaligus heran.
“Ha ha, tidak apa-apa. Aku hanya merasa senang karena hari ini rapot sisipan akan dibagikan. Aku sudah tidak sabar ingin melihat nilai-nilaiku, semoga saja tidak terjadi ‘kebakaran’ seperti semester lalu!” jawab Dahlia dengan kedua tangan menyilang di dada, menandakan seperti ia sedang deg-degan.
“Iya iya, anak pintar. Kalau aku sih, biasa saja. Toh, walau nilaiku jelek ataupun bagus, reaksi kedua orangtuaku sama saja. Hanya mengangguk-anggukkan kepala dan bilang ‘Ooh’. Menyebalkan, bukan?” Kintan meletakkan tas merah mudanya dan duduk di sebelah Dahlia. Wajahnya mendadak muram karena kata-kata yang dia ucapkan sendiri beberapa detik yang lalu.
Ya, Dahlia, sahabat karibnya memang sudah paham bagaimana sifat kedua orangtua Kintan. Sibuk, jarang di rumah, dan terkesan tidak memperdulikan Kintan. Kintan selalu ditinggal kerja oleh orangtuanya. Berangkat kerja di pagi buta saat Kintan masih tertidur dan pulang larut malam saat Kintan sudah tertidur. Tak jarang, Kintan berkata bahwa ia kesepian dan merindukan kasih sayang orangtuanya, seperti saat dia masih kecil dulu.
“Duh, mulai deh cemberutnya. Sudah sudah, lupakan saja. Mari keluarkan buku-bukumu. Guru sudah datang,” Dahlia mengalihkan pembicaraan agar Kintan tidak berlarut-larut dalam mood-nya yang mendadak berantakan.

“Kintan Shafna Malik,” panggil Pak Horan, wali kelasnya. Tibalah saat ia menerima rapot sisipan. Dengan wajah lesu, Kintan mengambil rapot dari tangan Pak Horan dan membaca nilai-nilainya sekilas.
“Nilai-nilaiku turun, tidak seperti semester lalu. Ya mungkin memang aku sekarang malas belajar. Ah, aku tidak peduli. Toh, orangtuaku tidak akan memarahiku. Tapi lumayan, aku mendapat nilai sempurna di 3 bidang studi, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA. Semoga saja kali ini mama dan papa senang melihatnya,” gumam Kintan dalam hati sembari berharap kedua orangtuanya bereaksi lebih dari biasanya.
“Bagaimana, Tan? Nilai di rapotmu bagus-bagus, kan? Sepertinya aku melihat ada nilai sempurna di rapotmu, tetapi mengapa wajahmu masih tetap lesu saja?” tanya Dahlia membuyarkan lamunan Kintan.
“Eh? Apa?” Kintan terkejut karena tiba-tiba Dahlia berdiri di dekatnya. Ia mencoba fokus.
“Iya, memang ada. Tapi Li, aku tak sanggup membayangkan reaksi kedua orangtuaku yang super datar saat melihat nilaiku nanti. Aku sudah berjuang mati-matian untuk mendapat nilai bagus, tetapi akankah reaksi mereka hanya begitu saja? Sungguh menyakitkan,” Kintan menjelaskan isi hatinya. Dahlia hanya bisa mengangguk, dan menghibur Kintan.
Pukul 3 sore, Kintan sampai di rumah. Di depan rumah besar bercat putih itu, tampak ada dua mobil yang terparkir. Kintan langsung mengenali kedua mobil tersebut, karena itu adalah mobil ayah dan ibunya.
‘Jarang sekali mama dan papa ada di rumah sore hari seperti begini,’ ucap Kintan dalam hati.
Sambil menenteng rapot sisipan, Kintan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
“Mama, papa. Kintan pu…,”
Belum selesai Kintan mengucap salam, ia malah mendengar suara keributan dari dalam rumahnya. Langkahnya terhenti, dan mencoba mendengarkan suara itu dengan seksama. Kintan terkesiap…
“Ini semua salah mama! Kalau saja mama mau mendengarkan kata-kata papa dulu, pasti perusahaan tidak akan bangkrut seperti sekarang! Lihat saja, mengapa kamu beri semua saham perusahaan kepada teman lamamu itu? Dia seorang pembohong! Perusahaan jadi rugi besar gara-gara ulahmu!” ujar ayah Kintan ke istrinya dengan kasar. Terlihat ibu Kintan terisak-isak di atas sofa.
“De.. dengarkan mama dulu, Pa. Aku tidak tahu akan begini jadinya. Jonas dulunya adalah teman mama yang baik, ia bisa dipercaya. Tapi…”
“Sudahlah, apa lagi yang bisa dijelaskan? Yang jelas, sekarang dia tidak sebaik yang mama kira! Dia sudah membuat perusahaan kita merugi. Bagaimana nasib hidup kita selanjutnya?!” Ayah Kintan menyela perkataan istrinya. Raut wajahnya tegang, namun juga tampak khawatir.
Kintan yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kedua orangtuanya di balik dinding ruang tamu, hanya bisa terduduk lemas. Rapot yang ia bawa terjatuh. Pandangannya kosong, pikirannya pun melayang ke mana-mana.
“Apa arti ini semua, Ya Allah? Aku baru saja pulang ke rumah, berniat memberi tahu bahwa nilai rapot sisipanku bagus. Tetapi, mengapa malah semua ini yang terjadi? Ah…,” ucap Kintan, suaranya lirih. Ia berusaha sekuat tenaga membendung air mata, sambil duduk bersimpuh di lantai.
Pembicaraan kedua orangtuanya semakin menegang. Tak pernah sebelumnya ayah dan ibu Kintan berdebat hingga ayahnya mengeluarkan kata-kata kasar seperti sekarang ini. Tubuh Kintan semakin gemetaran. Tiba-tiba ia mendengar…
“Aku menyesal telah mempercayaimu! Kukira kau bisa menjaga dengan baik perusahaan kita. Tetapi apa nyatanya? Kau juga yang membuat perusahaan bangkrut dan pindah ke tangan si Jonas, teman lama yang kau percayai itu!” bentak ayah.
“Tenang mas, coba kita bicarakan ini dengan kepala dingin. Bukan maksudku memberi semua saham perusahaan ke Jonas, tetapi aku merasa dijebak olehnya. Tolong percaya aku..,” Ibu Kintan berusaha meyakinkan suaminya itu.
PLAK!!
Tamparan keras mendarat di pipi Ibu Kintan, menimbulkan suara yang keras. Ibu Kintan sampai terjatuh ke lantai. Kintan yang mengetahui bahwa ayahnya barusan saja menampar ibunya, spontan menangis.
“Maaf, mas…,” Ibu Kintan berkata dengan suara lirih. Hanya itu yang bisa beliau katakan.
“Sudah kubilang, aku sudah tak mau percaya kepadamu lagi! Sungguh aku sangat bodoh membiarkan istri yang aku percaya malah menodai kepercayaanku itu! Lebih baik kita berpisah saja, muak aku!”
Kintan sangat terpukul mendengar ucapan ayahnya ke ibunya. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang.
“Astaghfirullah.. Apa benar yang barusan aku dengar? Apa mungkin papa setega itu, Ya Allah? Kenapa semua ini terjadi? Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, mengapa selalu kesedihan yang menyelimutiku? Aku sudah tidak kuat, Ya Allah…,” Kintan melontarkan kata-kata selaras dengan apa yang ia rasakan sekarang.
Kintan merasa sangat frustasi mendadak. Dia belum bisa menggunakan akal sehatnya untuk berpikir. Ia menyeka air mata yang membasahi pipinya.
“Kalau begini, mending aku pergi saja dari rumah. Aku tidak betah! Aku tidak pernah merasa bahagia di rumah!” Kintan mengambil keputusan. Ia segera berlari ke luar rumah, tanpa peduli betapa memprihatinkan keadaannya saat ini.
Ia berlari, terus berlari. Ia sudah trauma dengan kondisi di rumah. Perbincangan kedua orangtuanya tadi terus memenuhi relung fikirnya. Sampai sampai…
BRUAKK!!!
Tubuh Kintan terhempas oleh sebuah mini bus yang melintas di jalan raya. Kintan tidak menyadari bahwa dia sedang melintasi sebuah jalan besar yang ramai. Tubuhnya tergeletak tak sadar diri dengan bersimbah darah merah segar. Orang-orang yang melihat langsung menolong gadis cantik yang malang itu.

Sayup-sayup suara terdengar memenuhi sebuah kamar. Kintan dengan perlahan membuka matanya.
“Hah? Aku ini sedang dimana? Mengapa semua badanku terasa sakit? Mengapa kepalaku diperban?” tanya Kintan dengan suara lirih.
Ibu Kintan yang juga ada di sana menyadari bahwa putrinya sudah siuman.
“Kintan? Kamu tidak apa-apa, sayang? Maafkan mama…,” ujar ibunya dengan menangis terisak-isak.
“Kintan dimana ma? Dimana papa?” Pertanyaan itulah yang spontan pertama kali Kintan lontarkan kepada ibunya.
“Kamu… kamu sekarang ada di rumah sakit. Tapi tenanglah, keadaanmu sekarang sudah membaik. Papa sekarang sedang mengurus biaya administrasi,” jawab Ibu Kintan seraya menggenggam tangan Kintan yang lemah.
“Maafkan mama, nak.. Mama baru sadar kalau kamu mendengar pembicaraan mama dengan papa sore tadi. Mama menyesal sudah membiarkanmu berlama-lama mendengarkannya…,” Ibu Kintan melanjutkan perkataannya.
“Mama dan papa kenapa? Kenapa sampai seperti ini? Apa harus begini dulu jadinya baru aku bisa mendapat hangatnya kasih sayang kedua orangtuaku, ma? Jujur, dari dulu aku sudah menginginkan semua ini..,” Kintan menghela nafas dengan berat.
Baru saja Kintan akan melanjutkan perkataannya, ayah Kintan datang sambil menenteng tas plastik berisi obat tebusan dari rumah sakit.
“Kintan? Kamu sudah sadar, nak? Bagaimana rasanya, apakah sudah membaik?” tanya ayah Kintan. Guratan di wajahnya menandakan bahwa ayah Kintan sangat lelah dan khawatir.
“Ya, mungkin lebih baik dari sebelumnya. Ma, Pa, sebenarnya ada sesuatu yang ingin Kintan sampaikan ke mama dan papa..,” ujar Kintan dengan intonasi lembut nan manja. Mata Kintan mulai berkaca-kaca.
“Apa itu, nak? Katakan saja agar papa dan mama tau,” tanya ayahnya.
“Kenapa mama dan papa harus bertengkar tadi? Kintan tadi mendengar semua yang mama dan papa bicarakan, rasanya Kintan sangat terpukul. Kapan Kintan bisa menjalani kehidupan keluarga yang normal seperti teman-teman Kintan lainnya?” Butiran mutiara itu mulai mengalir di pipi Kintan. Dia sudah tak tahan membendung kesedihannya.
“Kintan ingin, papa dan mama baikkan lagi. Kintan ingin, Kintan bisa merasakan hangatnya kasih sayang kedua orangtua yang utuh, tanpa kurang sedikitpun. Kintan ingin mama dan papa tidak mengabaikanku karena urusan pekerjaan..,” sambung Kintan.
Seketika, suasana menjadi hening. Tampak ayah dan ibu Kintan bingung harus berkata apa. Beliau berdua tersadar sekarang.
“Ya, nak. Sekarang papa dan mama sadar. Maafkan kami berdua ya, sayang. Papa janji tidak akan mengulangi kejadian tadi sore lagi…,” Ayah merespon sambil membendung air mata.
“Masalah yang tadi sore, lupakan saja. Semua yang buruk itu Insya Allah tidak akan terjadi,” Ayah Kintan tersenyum meyakinkan Kintan.
“Dan, mulai detik ini, Mama memutuskan akan berhenti kerja. Mama janji akan sepenuhnya mengurus Kintan dan papa. Maafkan mama ya. Mama sayang Kintan…,” tutur Ibu Kintan melanjutkan perkataan sebelumnya. Beliau menangis, lantas mencium kening Kintan.
“Kintan juga sayang mama… dan papa,” Kintan tersenyum lemah, bibirnya gemetaran karena terharu.
Akhirnya, apa yang diinginkan Kintan selama ini terwujud. Kasih sayang dan perhatian yang utuh dari kedua orangtuanya. Walau harus menempuh proses yang tidak enak seperti ini, bagi Kintan, semua tidak terasa sakit. Karena, baru saja ibunya berjanji akan mengurusnya dengan sepenuh hati. Ya, seperti saat Kintan masih kecil dulu. Seperti apa yang diharapkannya.
“Setiap orang ingin kebahagiaan, tidak ada yang menginginkan duka. Namun, kita tidak bisa menikmati pelangi, sebelum hujan datang, dan berlalu.”
-TAMAT-

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/badai-pasti-berlalu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar