Selasa, 16 Februari 2016

I Want To Sing A Loud

I Want To Sing A Loud




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 9 February 2016

Aku rasa kopi ini sama sekali tidak membantuku. Aku menyingkirkan secangkir kopi yang mulai mendingin, demikian juga dengan gitar yang sejak tadi ku peluk. Akhirnya aku hanya menekuk lutut, memandangi pagi yang mulai datang seolah mencoba menahan agar matahari jangan dulu terbit. Aku sedang berada di rooftop rumah susun tempatku tinggal. Rumah susun 3 lantai dengan kurang lebih 120 kamar. Dari sini aku bisa melihat semuanya. Melihat jalanan di bawah, perkampungan, dan yang paling istimewa yang dapat ku lihat dari sini adalah langit.
Aku tahu ini tak seberapa tingginya, tak cukup tinggi untuk membuat pesawat berhenti. Namun dari tempat tertinggi yang bisa ku tempati ini, aku merasa dekat dengannya. Kita masih mendengar suara Adzan yang sama kan? aku pun meraih ponselku, sepertinya jari-jari ini sudah hafal ke mana ia harus melangkah. Mengusap layar untuk membuka kunci, menuju phone logs, dan menekan button call pada baris paling atas.
“Hai, salat subuh yuk!”
Terdengar dengusan keras dari seberang sana kemudian jeda cukup lama yang membuatku harus menggigit bibir karena khawatir dengan apa yang akan dikatakannya. Ia selalu mendengus tiap kali akan mengucapkan sesuatu yang membuatnya marah atau tidak nyaman.
“Di sini subuh masih 2 jam lagi. Kamu ganggu waktu tidurku,”
“Emangnya kamu lagi ada di mana?”
“Di kasur.” jawabnya singkat. Disusul dengan tut, tut, tut panjang.

Sepertinya hari ini aku memaksakan diri untuk menjadi orang paling sibuk di dunia. Aku sudah menyelesaikan 3 laporan praktikumku yang seharusnya dikumpulkan minggu depan, aku sudah mencuci semua baju dan sepatu padahal biasanya aku akan melaundrykannya, aku sudah mengantar Susi berbelanja untuk makan malam padahal Susi biasa pergi sendiri, aku bahkan mengantre di antrean paling panjang ketika membeli bensin padahal ada antrean yang lebih pendek. Aku ingin tahu bagaimana rasanya sibuk. Aku ingin bisa sesibuk mungkin sampai orang-orang lelah menungguku menyelesaikan kesibukanku. Aku ingin menjadi yang ditunggu, bukan menunggu. Karena aku tahu bedanya. Percayalah, sesibuk apa pun kalian karena aktivitas kalian yang melelahkan, aku tahu rasa lelah itu tidak sebanding dengan rasa lelah ketika menunggu.
Aku sudah melakukannya 2 tahun ini. Aku tahu betul apa yang dilakukannya lebih melelahkan daripada apa yang aku lakukan. Aku hanya mahasiswa biasa, nggak ada satu pun organisasi yang ku ikuti, nggak ada pekerjaan part time yang aku ambil, yang ku lakukan hanyalah kuliah, makan, tidur, dan bernyanyi. Tapi aku merasa aku lebih lelah darinya. Awalnya aku bisa menghafal semua jadwalnya. Sehingga aku akan menelepon ketika aku tahu jadwalnya sedang kosong. Namun sekarang aku kehilangan jadwalnya. Aku tak pernah tahu ia sedang berada di mana, apa yang ia lakukan, apakah ia mengaktifkan ponselnya, aku tak tahu kapan harus berbicara dengannya.
Lusa adalah hari jadi kami yang kedua. Aku berencana memberikannya sebuah lagu ciptaanku sendiri. Beberapa minggu yang lalu aku sudah mendapatkan beberapa lirik cinta yang manis yang menggambarkan betapa manisnya cerita kami dulu. Aku bahkan bisa menuangkannya dalam sebuah refrain hanya dalam waktu kurang dari setengah jam. Tanpa membongkar pasang lirik maupun nada. Semuanya terasa tepat, semuanya terasa cocok diberikan untuknya.
Namun akhir-akhir ini, waktu produktifku untuk menciptakan kalimat bernada hanya ku habiskan dengan memeluk gitar di rooftop rumah susunku sampai orang berlalu-lalang di sekitar mesjid untuk melaksanakan salat subuh. Aku lelah karena setiap kali aku mengulang lirik yang telah ku buat, sepertinya ada sesuatu yang janggal. Padahal awalnya aku rasa refrain ini sudah sangat sempurna.
“Apakah di Seoul sedang turun salju?” aku ragu untuk meneleponnya, aku takut dia sedang sibuk jadi aku hanya mengiriminya pesan singkat. Berharap dering ponselnya ketika menerima pesan ini tidak mengganggunya. Setengah jam lebih aku menunggu, namun tak kunjung ada balasan. Sambil menunggu balasannya aku mencoba untuk googling, mencari tahu bagaimana suhu udara di Seoul sekarang.
“Apa kamu bawa mantel?” sebelum menekan tombol Send aku kembali ragu. Apakah aku mengganggunya? Karena ragu aku memutuskan untuk menunggu 15 menit lagi sebelum kembali mengiriminya pesan. Aku tahu dia paling tidak suka diberondongi dengan banyak pesan singkat ataupun telepon. Dia sudah pernah bilang sebelumnya, jika ia tidak membalas ia pasti sedang tidak bisa membuka ponselnya. Dia juga berjanji akan langsung membalas jika ia tidak sedang sibuk Jadi ia melarangku untuk mengiriminya lebih dari 2 pesan jika bukan sesuatu yang penting. Tapi.. hei! Ini sesuatu yang penting kan? Di Seoul sedang sangat dingin. Aku perlu memastikan dia hangat di sana.
Send.
Your fingers is good enough to hold mine, Your arms is warm enough to make my heart warm
Your smell is my best drug to make me feel save, I don’t want another fingers, another arms, another smell in this world except yours
every breath you take, is control my breath, Because my life depend on you
Aku menyanyikan satu refrain yang telah ku buat, dan lagi-lagi aku merasa lirik ini tidak pernah harmonis dengan nada yang ku pilih.
“Sempetin makan sesuatu yang hangat ya… i miss you.”

Aku hampir menangis frustasi malam ini. Aku benar-benar tidak bisa menyelesaikan lagu ini. Aku sudah berusaha mencari semua nada, sudah berusaha menggali semua kata cinta terbaik dalam otakku, apa pun sudah ku lakukan agar lagu ini selesai sebelum pagi datang. Setiap aku memulai dengan 1 chord andalanku, pasti akan terdengar aneh. Setiap aku sudah mulai nyaman dengan satu nada, pasti nada itu tidak harmonis dengan lirik yang ku punya. Ada apa denganku? Aku yang biasanya bisa menciptakan 2 lagu dalam satu hari, kini kesulitan untuk mencari nada untuk 1 refrain bahkan dalam 1 bulan!!
Dan kini aku bahkan tidak bisa merasakan manisnya lirik yang ku buat. Akhirnya aku menyerah. Lagi-lagi aku meletakkan gitarku lalu menekuk lututku dan menyeruput kopiku yang mulai mendingin. Biasanya aku akan diam dalam posisi ini sampai adzan subuh berkumandang. Namun kali ini berbeda. Aku tidak hanya diam namun menangis. Aku merasakan kelelahan yang luar biasa, lelah yang ku buat sendiri karena aku sangat merindukannya. Aku membuka galeri di ponselku, masih tersimpan di sana fotonya di dalam pesawat, tersenyum lebar dengan tangan kanan membawa kertas bertuliskan, “HAPPY 1ST ANNIVERSARY IRISH, from 3559 mdpl.” dan tangan kiri memegang sebucket bunga yang diberikannya padaku 2 hari kemudian saat ia kembali ke Indonesia.
Foto itu membuat hatiku menghangat. Perasaan yang sama seperti yang ku rasakan saat itu. Perasaan disayangi, diinginkan, dirindukan, dinomorsatukan setelah kesibukannya di pesawat, dan semua perasaan menyenangkan yang selalu ku rasakan walaupun kami dalam hubungan jarak jauh. Seperti tak bisa menahan perasaan rindu ini sendirian, aku pun meneleponnya. Tak peduli apa yang sedang dilakukannya sekarang aku hanya ingin mencoba mendengar suaranya di hari jadi kami yang kedua.
“Hai..” sapaku dengan suara serak. Setengah bahagia karena dia mengangkat teleponnya. Ini artinya ia sedang ada waktu. Dan setengah berharap ia memang menyisihkan waktunya untuk sekedar berbicara melalui telepon denganku. “Jai..” sapanya dengan suara datar. Aku senang ia tidak sedang tidur jadi aku tidak mengganggu waktu tidurnya.
“I miss you,”
“I miss you too,”
“Kapan pulang?”
“Aas soon as possible”
“Aku buatin lagu buat kamu, tunggu sebentar,” aku meletakkan teleponku lalu bergegas mengambil gitarku. “tapi maaf kalau nggak rapi. Aku udah berusaha buat bikin ini dari sebulan yang lalu tapi susah banget nemu nada yang pas. Tapi tenang aku udah ada liriknya kok spesial buat kamu, wait..”
“Wait Irish. Setengah jam lagi aku masuk pesawat. Aku harus matiin ponselku. Kita dengerin lagu kamu 2 jam lagi setelah aku landing ya?”
“Oh.. oke. Langsung telepon aku begitu kamu landing ya?”
“Okey,”
“Promise me,”
“I promise,”
“Eumm.. okey..”
“Okey, bye..”
“Dennis.. Happy 2 years Anniversary..” tut tut tut… telepon diputus dari seberang. Aku tak tahu apakah ia mendengar ucapanku. Dan aku juga tak tahu, apakah ia ingat untuk mengucapkannya juga padaku.

Dan hari ini akhirnya berakhir juga. 25 February di tahun yang kedua. Tepat pukul 12 malam aku tersenyum dan terkekeh menertawakan diriku sendiri. Setelah lelah dengan tawaku, aku berdiri di meja yang ku letakkan rooftop, tak peduli aku menyenggol cangkir kopiku dan membuatnya tumpah ke lantai. Aku memegang gitarku, entah nada apa yang ku ambil. Kemudian aku menatap langit dini hari ini dan meneriakkan lirik apa pun yang terlintas di otakku. Yang jelas semua lirik itu ku awali dengan kata “STUPID!”
I Think i’m stupid enough today. Stupid enough to wait for his call for 21 hours. Stupid enough to leave my class just to hug my guitar here and wishing my refrain will be perfect without mix and match chord again, cukup goblok buat upload my lirics on Instagram dan menandai Dennis dalam foto itu. Berharap ia membacanya dan ia segera meneleponku agar aku bisa menyanyikan refrain ini untuknya.
Namun rasanya kebodohanku makin menertawakanku ketika aku melihat akun Instagramnya, ia ditandai dalam sebuah foto lain bersama 5 temannya. 2 laki-laki dengan masing-masing merangkul satu perempuan dan seorang perempuan tinggi langsing berpakaian pramugari bergelayut mesra pada lengan Dennis yang masih mengenakan setelan pilotnya, keduanya memegang cupcakes kecil dengan 1 lilin menyala. Foto itu diambil di tempat yang tidak asing buatku, salah satu cafe di pinggir Pantai Kute. 1 jam dari rumahku. Dan yang membuat lirikku menjadi nampak bodoh adalah 1 kalimat yang ditulis oleh wanita yang mengupload foto tersebut di instagram.
“Happy first Anniversary my dear Dennis, Pilot of my life. I love you to the air and back"

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-galau/i-want-to-sing-a-loud.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar