Selasa, 16 Februari 2016

Cahaya Mimpi

Cahaya Mimpi




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 14 February 2016

Gontai, aku melangkah ke luar kamar. Hari ini pasti berjalan seperti kemarin kemarin, dan kemarinnya lagi. Rumahku seolah tak bernyawa. Rumah seakan bukan lagi laboratorium keharmonisan yang menginginkan anaknya duduk bersama dengan orangtua. Rumah kami menjelma sebagai ruangan kotak tanpa ruh, yang hanya mengisahkan sebuah kesibukan dari setiap penghuninya. “Dok, dok, dok!!” Aku mendengar suara orang mengetuk pintu sedikit keras. Lantas segera ku jalan cepat dan membuka pintunya, yang aku temui adalah bunda. Dengan tergopoh-gopoh bunda menerobos masuk dan mengacak-acak sofa, seperti mencari sesuatu.
“Cari apa Bun? Ada apa? Kenapa Bunda gelisah seperti itu?” tanyaku. Tanpa ada jawaban dari bidadari ayahku itu, bunda masih tetap melanjutkan acara acak-acaknya dan sekarang terganti acara buka tutup laci. Bunda lari segera ke kamarnya, aku mengikutinya sedikit kesal. “Bun, Bun, dengerin aku, Bunda cari apa?” tanyaku yang masih tetap terjawab kebisuan. “Bun, Bun, Bunda!!!” aku memanggilnya keras, sontak. Bunda langsung membalikkan badan dan menatapku lelah.
Aku mendekatinya yang terdiam namun gelisah. “Bunda cari apa? Bunda kenapa? Cerita,” tanyaku.
“Bunda cari data kemarin Nak,” jawabnya lembut.
“Oh itu, aku nggak tahu Bun,” jawabku. “Penting banget Bun, sampai Bunda gelisah gitu?” tanyaku kembali.
“Iya, kalau nggak ada data itu, Bunda nggak bisa berangkat sekarang, bisa ditunda nantinya,” jawabnya.
Data yang bunda cari adalah data yang sangat penting, karena di dalam data itu isinya berkas berkas yang menyatakan bunda akan pergi ke makassar untuk rapat. Lagi-lagi aku harus berteman sepi di rumah ini, dan lagi lagi bunda harus pergi untuk kerjanya. “Ah ini,” kata bunda dengan girang. Bunda menemukan data itu di laci dipannya. Segera bunda langsung mencium pipiku dan berlari meninggalkan kamar menemui temannya yang menunggu di depan. Dan itu artinya lagi-lagi bunda meninggalkan rumah.
“Bunda berangkat dulu Nak, jaga kesehatanmu jangan lupa minum obatnya. Ingat! Nggak boleh ke luar rumah sebelum Ayah pulang, Bunda berangkat assalamualaikum,” kata bunda penuh kasih sayang namun meninggalkan kesepian untukku di sini. “Iya waalaikumussalam.” kataku pasrah.
Jam 08.30, aku sarapan sendiri. Sambil melihat TV dan tiba-tiba ada salah satu temanku yang datang ke rumah dan langsung ngeluyur masuk duduk di sofa. Naila, dia adalah sahabatku dari kecil, bukan hanya sahabat, namun juga pelampiasan hatiku. Dia yang selalu menerima apa adanya apa yang aku lakukan padanya. Dia yang selalu rela mati-matian mendengarkan isi hatiku.
“Nes, jalan jalan yuk,” katanya dengan ceria.
“Ke mana? Aku kan nggak boleh ke luar rumah sama Bunda,” kataku.
“Alaaaah jalan-jalan sekitar sini aja kok, nggak ada sehari, aku jamin pulang sebelum Ayahmu datang, apalagi Bundamu,” katanya mantap.
“Ya udah, aku habisin ini dulu,” kataku. “Aaaaah, lama cepetan dong, makan sambil jalan deh,” kata Naila.
“Nggak mau,” kataku. “Ya udah aku bantu makan,” katanya. Sambil ngerampas roti dan minuman susu di meja.
“Iiih bilang aja minta, dasar kingkong akut!!” kataku kesal.
“Hihihi kan biar cepet habis, makanya aku bantuin habisin,” katanya.
“heeeh..” dengusku pasrah.
Naila adalah temenku yang paling hobi makan, entah itu sudah sarapan atau belum, sudah kenyang atau belum. Tapi kalau lihat makanan, dia paling rela mati hidup ngehabisin makanan setiap umat. Makanya aku dan teman-temanku memanggilnya “Kingkog akut,” Hahaha. Selesai makan, aku dan Naila bergegas ke luar rumah, aku mengambil sepeda di belakang dan kami pun bersepeda bersama-sama. Lama kemudian, kami bertemu karyawan “gendola,” sedang ada di lapangan, ada Khusnul, Fitri, Vira, dan Risa.
“Hei La, Nes sini gabung kita,” kata Khusnul. Akhirnya aku dan Naila bergegas mendatangi mereka.
“Hei, kalian mau ikut nggak? Ada yang keren di rumahku,” kata Risa.
“Paling-paling juga sepatu yang ada permen karetnya,” kata Naila.
“Hahaha,” kami semua tertawa.
“Ih kamu dasar! Kingkong akut. Dengerin dulu, di rumahku ada novel-novel yang baru aja dibeliin Omku, banyaaaak banget. Mau nggak? Kalau mau ke rumahku sekarang, mumpung di rumah lagi nggak ada siapa-siapa,” kata Risa.
“Baiklah,” kataku.
“Eets, tapi ada syaratnya,” kata Naila sergap omongan.
“Apa?” kata Risa.
“Siap sedia cokelat dan susu hangat,” kata Naila ke-PD-an.
“Hmm, iya Kingkong akuuuut,” serentak kami menjawab.
Lalu kami pun bersepeda untuk pergi ke rumah Risa. Kami semua adalah teman akrab, tidak pernah berantem walau sering ngambek-ngambekan. Sampai kami pun punya nama gengs yaitu “GENDOLA,” entah nama itu apa maksudnya. Hingga sampai di rumah Risa kami semua langsung masuk ke kamarnya dan di sana kami disajikan novel-novel terbaru dan baru dibeli oleh omnya Risa. Dan nggak lupa cokelat kesukaan kami, khususnya Naila si kingkong itu.

Lain cerita, jam 15.30 di bandung.
Drrr, drrr, Hp ayah berdering.
“Halo, assalamualaikum. Dengan siapa?” kata ayah.
“Kami dari pihak polisi, apa benar ini dari keluarga saudara Nissa?” polisi.
“Ya benar saya Ayahnya, kenapa Pak dengan anak saya?” kata ayah.
“Mohon maaf Pak, anak Bapak terkena razia nark*ba, sekarang kami tangkap,” kata polisi.
“Apa?!!! kena nark*ba tapi nggak mungkin, anak saya selalu ada di rumah, mungkin Bapaknya salah?” kata ayah kaget.
“Tidak Pak,” kata polisi.
“Tapi buktikan, saya minta bukti kalau itu anak saya!!” kata ayah tidak percaya.
“Anak Bapak kami sergap waktu kami keliling razia di gudang nark*ba, dan di sana kami menemukan segerombolan anak-anak seperti sedang pesta miras, akhirnya kami pun menyergap sebagian mereka. Dan kami menemukan pil di saku anak Bapak, makanya anak bapak kami rehab di sini,” ujar polisi. Ayah mendengar suara tangisan anak perempuan dan memanggil-manggiL ayah yang sama persis dengan suaraku.
“Jika Bapak menginginkan anak Bapak, bisa saja. Tapi ada syarat yang berhak Bapak taati,” kata polisi.
“Apa Pak, pasti akan saya lakukan,” kata ayah gugup.
“Bapak membawa KTP dan uang sebesar 25 juta,” kata polisi.
“Baik, baik Pak. Kami segera ke sana,” kata ayah tanpa memikirkan dari mana uang sebesar itu.
Ayah pun bergegas pulang. Dan di rumah ayah tidak menemukan aku yang biasanya tidur di sofa menunggunya pulang. Ayah pun semakin khawatir, badannya gemetar tidak karuan dan tidak bisa lagi untuk berdiri.
Kembali ke ceritaku. Aku dan teman lainnya semakin asyik membaca dan tertawa bareng-bareng tanpa melhat jam yang semakin larut malam. Dan akhirnya kami pun tertidur pulas. Dan ternyata kami semalaman tidur di rumah Risa, ketika bangun, kami semua kaget dan baru sadar kalau mentari sudah marah membangunkan kita semua. Kami pun tanpa mandi, langsung pulang ke rumah masing-masing. Dan ketika aku hampir sampai di rumah. Ku melihat mobil dan banyak polisi ada di teras rumah, serta ayah yang sedang gelisah dan mencoba menenangkan bunda menangis terisak-isak.
“Nesse!!?” bunda memanggilku heran. Aku menghampiri bunda penuh tanya, ada apa ini? bunda langsung memelukku sangat erat namun aku lihat ayah berwajah merah seperti ingin marah.
“Pak, ini anak saya. Tapi pihak polisi kemarin mengatakan kalau anak saya kena razia nark*ba?” kata ayah.
“Sepertinya Bapak terkena tipu,” kata pak polisi.
“Kemarin saya di telepon kalau anak saya terkena razia, dan saya harus membawa uang 25 juta untuk bisa kembali anak saya, dan mereka mengatakan kalau mereka dari pihak polisi, makanya kami minta bantuan Bapak,” kata ayah menjelaskan. “Baiklah kami akan mencari tahu apa yang terjadi,” kata pak polisi.
Tanganku langsung ditarik ayah dengan keras. “Dari mana saja kamu heh? Kan Bunda, Ayah sudah bilang, jangan pernah ke luar rumah sebelum Ayah Bunda pulang!! Dibilangin itu saja gak bisa!!” ayah membentakku. Aku hanya bisa menangis tertunduk. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Aku melihat ayah dan bunda berantem. Aku pun langsung berlari ke kamar tidur, di kamar tidur aku menangis sekeras-kerasnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mereka pun tidak tahu apa yang aku rasakan selama ini, mereka egois!! Mereka tidak pernah berpikir bagaimana aku.
Dua hari kemudian..
“Pak, Bapak telah terkena tipuan. Yang kemarin menelepon Bapak bukan polisi, namun preman penipu yang mencoba menguras Bapak, kami telah menangkapnya, Bapak tenang saja,” kata polisi menjelaskan. “jadi mereka penipu?”
“Iya Pak, sebagian dari mereka pun sebagian ada yang mengenal Bapak, si dia ini sangat membenci Bapak dan ingin menguras Bapak, maka dari situlah anak Bapak jadi korban untuk penipuan ini, saya harap Bapak bisa menjaga anak Bapak sebaik-baiknya,” jelas polisi.
“Terima kasih Pak atas bantuannya, terima kasih Pak,” ayah bahagia, mengoles senyuman indah di raut wajahnya.
Aku bisa melihat wajah ayah dan bunda bahagia, mereka sama-sama memelukku.
“Nes, Ayah minta maaf ya sudah membentakmu, ternyata penipuan. Maafin Ayah ya,” kata ayah lembut.
“Maafin Bunda juga ya Nak,” bunda menambahi.
“Kamu gendutan Nak,” bunda mencubit perutku.
“Aauu!! Iiih Bunda,” kataku geli. “Bukan gendut, tapi berkembang.. makanya Bunda sama Ayah jangan sering ninggalin aku, jadi nggak tahu kan kalau aku tambah, walau dikit, hihi,” kataku. Terbalas senyum dan pelukan rapat dari mereka. “Hehehe,” kami sama-sama tertawa. Aku pun membalas pelukan mereka dengan penuh kehangatan.
Setelah kejadian ini, ayah dan bunda selalu menyempatkan pulang ke rumah walau sesibuk apa pun pekerjaan mereka. Adikku yang paling mungil pulang dari rumah omnya. Dan sekarang pun, bunda berhenti bekerja ke luar kota dan menginginkan untuk di rumah menemaniku. Ayah dan bunda semakin sayang denganku. Kasih sayang yang sebenarnya yang dulu cuma filosofis khayalku, kini jadi kenyataan jadi bunga setiap episode hidupku. Bahkan aku merasa, kasih sayang mereka jauh lebih besar dari apa yang selalu aku khayalkan dulu.
sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/cahaya-mimpi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar