Minggu, 28 Februari 2016

The Day When You Say Bye

The Day When You Say Bye



Kupalingkan pandanganku ke arah penjual jamu yang lewat di depan rumahku. Setelah penjual itu tak terlihat lagi aku terus menundukkan kepalaku dan memandang lantai yang bermotif awan itu. Tapi yang ada semakin membuatku kacau saja. Perlahan aku pun berusaha untuk memandang target yang berada di depanku. Ternyata dia juga memalingkan pandangan ke arah jendela. Syukurlah, jadi aku tak perlu salah tingkah lagi seperti saat dia menatapku.
Mungkin itu salah satu cara untuk menetralkan perasaannya yang sedang kacau. Namun tak lama kemudian dia pun beralih lagi ke arahku dan tatapanku langsung tertangkap olehnya. Spontan aku menjadi bingung harus melarikan pandannganku ke arah mana, padahal aku tak ada maksud untuk menatapnya lebih lama. Hanya saja dia yang terlalu cepat mengubah pandangannya.
Mau tidak mau aku pun harus menunggu kata-kata yang akan keluar dari lisannya. “Tolong lepaskan aku.” Itulah serangkaian kata yang aku dengar.
Tapi dengan bodoh aku malah pura-pura tidak mendengarnya dengan jelas. “Hah, maksudnya apa?”
Sambil mengerutkan dahi dengan gaya seperti orang yang sedang berpikir kritis. Padahal dalam hati aku sudah mulai kacau dan aku tidak bisa berpikir dengan jernih.
Tanpa menunggu lebih lama dia pun berkata, “Lepaskan aku untuk sementara, aku rasa sudah cukup dulu sampai di sini.”
Aku berharap dia salah berbicara dan akan meralat perkatannya. Tapi setelah beberapa saat kutunggu, tak ada kata yang terucap lagi. Sungguh aku tak bisa beripikir jernih. Semua menjadi terasa lebih kacau, rasa tak percaya, marah, ingin menangis, dan sakit hati. Semua beradu menjadi satu seperti sup buah yang selalu aku idamkan saat panas terik.
Aku pun tak tau harus berkata apa untuk menanggapi pernyataan itu. Aku juga tak tahu harus kata mana dulu yang harus aku keluarkan. Yang ada aku hanya termenung dan menunduk dengan memasang wajah yang murung. Keadaan seperti ini sebenarnya malah akan membuatku mengeluarkan air mata. Akhirnya aku berusaha untuk menegakkan posisi kepalaku. Dan lagi-lagi aku malah memalingkan pandangan ke arah sudut meja yang berbentuk persegi panjang itu. Menyebalkan sekali. Padahal aku seharusnya sudah berbicara sejak tadi, bukan bertindak seperti orang bisu begini. Aku tetap harus bicara.
“Jadi kau bermaksud untuk mengakhiri semuanya dan pergi dari hidupku?” Itulah kalimat pertama yang keluar dari lisanku. “Kalau memang ini maumu tidak apa-apa. Pergilah ke mana saja kau mau, carilah orang lain yang lebih baik dari aku”
Aku sangat sadar, bukan ini yang ingin aku bicarakan. Tetapi tentang alasan mengapa dia bilang begitu. Keruh sudah pikiranku. Aku terlalu emosi dan tidak bisa mengontrolnya. Sepertinya dia paham akan sikapku yang terlihat kacau ini.
“Bukan begitu maksudnya. Aku rasa kita perlu waktu untuk mengintrospeksi diri kita masing-masing. Banyak hal yang selama ini sudah melampaui batas dan tidak sejalan seperti yang seharusnya. Sehingga akhir-akhir ini kita sering bertengkar hanya karena masalah kecil. Ini butuh waktu untuk memperbaiki semuanya”
Bagitulah maksud kata-katanya tadi. Ternyata aku terlalu emosi sehingga tidak bisa berpikir positif. Akhirnya aku pun bisa mengerti maksudnya. Kita harus berpisah untuk memperbaiki diri lagi. Dan seperti yang dia bilang, untuk sementara meskipun tak tahu sampai kapan dan seberapa lama.
Yang dia katakan tadi memang benar adanya. Akhir-akhir ini kita sering bertengkar hanya karena masalah kecil. Dan aku pikir ini juga karena sikap kita yang masih labil meskipun usia kita hampir menginjak 20 tahun. Perlahan aku pun mengangguk tanda mengerti.
“Kalau memang jodoh, pasti kita akan disatukan lagi. Hanya saja untuk sementara ini kita harus berpisah. Bye…”
Begitulah pesan terakhirnya padaku. Lalu dia bergegas keluar melalui pintu kayu yang sedari tadi terbuka. Bukannya mengantar dia sampai depan pintu, tapi aku masih saja duduk sambil termenung. Bahkan aku tak tahu kapan dia pamit pulang. Yang aku tahu sekarang aku sendiri lagi. Di ruang tamu yang dingin dan kelam ini, dia bilang “bye…” padaku.
Cerpen Karangan: Lilin S.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-sedih/the-day-when-you-say-bye.html

Lukisan Oleh Langit

Lukisan Oleh Langit



“Kau boleh pergi jika tidak sanggup menerima kenanganku.”
Di bawah terik yang menyapu mendung sedari pagi. Di atas lantai dingin campuran semen, air, dan pasir. Bayangan ring basket tertoreh di atas tubuhnya. Menggambarkan aksen hitam transparan di atas kulit. Sang surya hampir mengeringkan daun-daun basah yang airnya sudah menetesi rambut Airin. Menyejukkan kulit kepala yang di dalamnya menyimpan banyak kegelisahan. Hanya gadis biasa tanpa keahlian berlebih.
Sikap juga selalu ditutup agar tidak menarik perhatian siswa lain. Dia sungguh ingin tenang dengan kisahnya sendiri. Pembicaraan orang lain tentang dirinya diibaratkan angin yang mengibaskan rambut dan pakaian. Cukup satu orang. Hanya Arga yang tahu seluk beluk fakta tentangnya. Airin membagi penderitaannya dan Arga dengan suka hati menerima. Kekasih tak hanya tentang mencintai dan dicintai tapi setia menemani meski dalam lemah atau kurang.
“Kau di sini?” Terpampang siluet tubuh pria 18 tahun yang menghalangi sinar, memaksa Airin membuka yang dari tadi terpejam. “Aku dan para guru mencarimu ke mana-mana.” Terdengar napas terengah menyisipi setiap kata Arga. Airin mendongak memperhatikan badan pria berdiri di sebelahnya penuh tetesan peluh.
Ekspresi kekhawatiran yang selalu diperoleh Airin. Risau dan cemas terpancar jelas dari sorot mata pria sembilan bulan lebih tua darinya. “Kalian tidak perlu selalu mencariku. Ketika aku pergi pun tidak akan ada yang memikirkanku.” Arga mendudukkan tubuhnya menyetarakan posisi mereka. Gadis yang selalu tampak menyedihkan di hadapannya. Dia mengusap lembut rambut Airin yang berkilau kecokelatan karena sorotan sang raja siang. Lembut selalu dalam genggaman. Aroma sampo menyeruak memenuhi indra penciuman. Arga memperhatikan detail kehidupan Airin.
“Aku memikirkanmu, orangtuamu juga.”
“Mereka bahkan tidak tahu masalahku.” Air bening kembali menetes seraya langit yang kembali abu-abu. Seolah setuju dengan pendapat Airin. Cuaca memang sedang tak konstan tapi mungkinkah langit melukiskan suasana hati seorang Airin. “Kau bisa mempercayaiku. Aku akan mengubah perasaanmu. Beri aku waktu.” Memeluk gadisnya, memasukkan tubuhnya dalam hangat ketulusan adalah impian Arga. Namun Arga tidak bisa egois. Dia tidak ingin Airin merasa risih. Airin menerima kehadirannya lebih dekat sudah sangat cukup.
“Kau membuatku semakin merasa bersalah.”
Arga mengernyitkan dahinya. Matanya fokus melihat ke gadis yang kali ini menatapnya tajam serta penuh duka. Raut yang sering Arga temukan semenjak Airin kehilangan seseorang yang berarti. Bak kehilangan jati diri bahkan untuk tertawa ikhlas pun sangat sukar. “Kenapa?”
“Kau tahu kan kenapa aku menerimamu? Kenapa aku bersedia menjalani hubungan ini? Karena kau..” Airin tersedu lebih dalam sampai suaranya menipis dan serak. Napasnya tersendat air di hidungnya. Diiringi tetesan kecil air yang diterjunkan oleh langit. “Karena kau mirip dengannya. Aku merasa melihat dia setiap melihatmu. Itulah kenapa kita bisa berpacaran sekarang.” Airin hampir kehilangan kontrol bicaranya.
Kenapa melukai perasaan orang seperti Arga bisa sangat gampang baginya? Suaranya menghilang seiring langit yang menangisi kisah mereka. Dia menggenggam erat tangan Arga. Menjatuhkan air-air itu ke tangan hangat dan lembut yang bersedia selalu menjadi penenang: penunjuk jalan ketika dia tidak tahu arah: yang mendirikan tubuhnya ketika dia terpuruk. Arga tak lagi mampu menahan emosinya. Perkataan Airin kenapa mudah sekali. Iba, marah, sedih. Semua rasa tercampur menghujamnya bersamaan dengan air hujan. Airin mendongak, sadar akan seragam putih abu-abu mereka sudah kuyup. Syukurlah air mata Arga dikaburkan oleh hujan. Setidaknya Arga tidak terlihat terlalu menyedihkan.
Airin semakin terisak ketika pria di depannya hanya bungkam. Membiarkan air hujan menyapu habis keringat. Mata Arga menatap kosong bukan ke dirinya. Rasa bersalah lagi-lagi menyinggahinya. Kenapa harus menerima pria yang rela mengorbankan perasaan dan dipandang sebagai orang lain? Airin merasa melukai satu orang lagi. Pikirannya kacau, hatinya menyukai orang yang sudah pergi jauh ke kahyangan. Di hadapannya ada seorang pria dengan banyak kesamaan di antara mereka. Menyatakan apa yang dirasakan, merintis kembali kisah cinta yang indah bagi Airin. Perasaannya tak bisa mengelak. Jatuh cinta kembali menimpa bahkan di saat dia tidak ingin. Airin hanya tidak tahu pada siapa sebenarnya dia jatuh.
“Maaf.” Dekapan Airin menghambur ke tubuh tegap Arga. Di bawah dentum air yang menusuk ke lapisan kulit mereka. Hangat. Sama-sama terlintas di pikiran sepasang kekasih itu. Tatapan beberapa pasang mata yang menatap dari gedung-gedung bercat oranye tak mereka hiraukan. Air mata Airin terasa hangat di dada Arga karena mengalir di antara air hujan yang dingin. Airin ingin melakukannya bahkan sebelum mereka bersama.
Sejak bayangan kembalinya orang itu muncul. Dia ingin meluapkan kerinduan dengan pelukan. Namun, kali ini bisakah masih dikatakan bukan untuk Arga. “Kau tidak menyesal, kan?” Airin berusaha bertanya dengan sisa tenaganya. Arga menggeleng. Dia juga tak sanggup bicara. Pelukan gadisnya membungkam semua syaraf. Tubuhnya seperti tertimpa beton yang sulit diangkat. Rasa sakit sudah terlanjur melekat bahkan kini dia telah merasa nyaman.

Suasana membaik, atmosfer kelas mereka beranjak sejuk. Gunjingan-gunjingan atas Airin mereda berkat Arga. Bebungaan tumbuh di sekeliling mereka juga di dalam hati. Airin tak menutup semua kenangannya. Tak jarang Arga harus berlapang dada ketika Airin melakukan hal tak terduga lagi. Tidak ada mengeluh, tidak ada rasa menyesal, yang ada hanya cinta tak terbatas untuk Airin. Gadis yang dia kagumi bahkan sebelum Airin kehilangannya.
Arga segera menarik kedua lengan gadis yang tengah duduk di kusen jendela. Kakinya mengatung ke luar, tangan berpegangan pada pengait jendela. Mereka sedang berada di lantai dua. Itulah yang membuat Arga khawatir. Dia kembali dari rumah yang berjarak 6 kilometer dari sekolah untuk memastikan Airin tidak melakukan hal bodoh. Perasaannya tidak bisa tenang. Airin selalu pulang terlambat. Tentu sejak kejadian tragis itu. Hanya untuk mendengar beberapa lagu terputar di sound yang diambil tanpa izin dari sekolah.
“Bukankah kau sudah pulang?” Wajah polos Airin meredakan ketakutan Arga. Tangannya terlepas perlahan dari lengan berbalut kemeja putih Airin. Dia memposisikan tubuh di sebelah Airin. Gadis dengan tinggi 160 centimeter itu tidak bisa berbohong. Saat dia merencanakan sesuatu akan mudah terbaca. Kesedihan, kemarahan, dan rasa frustasi akan tampak hanya dengan Arga menatapnya.
“Aku kembali karena mencemaskanmu.” Airin tersenyum tipis. Dia menghadap kembali ke hamparan lapangan dengan beberapa anak bermain basket di bawahnya. Arga tidak bisa melepas perhatiannya dari Airin. Dia hanya melirik sebentar lapangan yang menjadi saksi bisu ketika Airin menuangkan perasaannya pada Arga. Arga biasa menatapnya seperti ini. Airin gadis yang sulit menyadari kalau sedang diperhatikan. Dia tidak terlalu peduli pada pandangan orang yang menyukainya. Itulah kebodohan yang melukai orang tulus padanya dan kadang menyakiti dirinya sendiri.
“Kau pasti berpikir aku akan bunuh diri.” Mata Arga membulat. Kata ‘bunuh diri’ agak terdengar menakutkan di telinganya. Kekhawatirannya hanya sebatas melakukan hal nekat. Dulu memang sempat terpikir tapi sekarang Airin berubah lebih hangat. “Tidak. Aku hanya cemas kenapa kau menetap di sekolah sampai senja begini.” Airin kembali tersenyum namun kali ini lebih lebar. Rasa hangat mengalir di kulitnya meski di luar angin saling bertautan. Sebenarnya dia selalu merasakan kehangatan saat di dekat Arga. Kehangatan yang dia dambakan ketika menemui cinta. Udara berisi napas Arga terasa lebih nyaman untuk dihirup.
“Aku rindu seseorang. Ketika aku melihat mereka bermain, seharusnya ada satu orang lagi di sana. Itu membuatku selalu merasa buruk.” Kali ini Arga fokus pada beberapa siswa bermain basket di sana. Itu teman-teman orang yang Airin maksud. Dengan seragam sudah lusuh, basah karena keringat dan gemericik gerimis air hujan. Arga menundukkan kepalanya: berkali-kali membenturkan dahinya ke jendela. Tangan menopang lukanya di kaca yang melindungi mereka dari rintik hujan. Entah kenapa terasa memilukan. Airin tidak penuh memberi perasaannya. Setiap teringat orang itu Airin selalu mengatakan hal menyedihkan baginya sendiri dan menyakitkan bagi Arga.

Arga berjalan lebih cekatan di depan Airin. Kini dia sudah masuk ke dalam daerah sunyi itu. Daerah yang gadis itu hindari untuk datang dengan siapa pun. Kesedihannya tidak ingin digunjingkan oleh orang lain. Walau kaki berat melangkah karena mengantar gadisnya ke tempat yang jelas akan membuatnya kembali bersedih. “Kenapa kau membawaku ke sini?” Bola matanya sudah berair, sekali saja mengatupkan kelopak mata maka Arga akan melihatnya menangis lagi. Pagar dari besi setinggi dagu Airin memisahkan mereka.
Seperti dalam alam berbeda walau di atas tanah yang sejalur. Arga sudah berdiri di atas gundukan yang penghuninya selalu dipikirkan Airin. Orang yang tidak mudah Airin lupa atau bahkan tidak bisa. Orang yang membuat Airin jatuh cinta padanya. Hubungan mereka bisa terjadi karena orang di bawah sana. “Kau bilang kau merindukannya, kan?” Airin menggeleng pelan sambil terisak. Langit kembali melukiskan perasaannya. Mendung kembali memayungi mereka. Arga turut berduka hingga dia tidak sanggup melihat Airin. Matanya ikut berair. Gadis itu mahir membuatnya terharu. Dia memilih menunduk. Dia tidak ingin air mata menetes dan gadisnya menyaksikan. “Aku tidak bisa. Kita pulang saja.” Airin beranjak.
Arga mendudukkan tubuhnya yang melemah karena kepedihan. Seperti ada amanah di kedua bahunya. Keduanya tertulis untuk mendampingi Airin. Menjaga gadis yang hanya menganggapnya sebagai pria lain, mendampingi gadis yang menangis untuk pria lain, dan menjadikan dirinya sebagai sumber semangat. Kecemburuan tidak bisa musnah sepenuhnya. Dia bahkan melakukan hal menyakitkan hanya demi melegakan Airin. Cinta benar-benar buta. Namun Arga puas karena dirinya yang berhasil dibutakan oleh cinta Airin. Dia tidak yakin Airin akan lebih baik jika bertemu dengan orang lain. Walau kekhawatiran selalu melanda Arga di setiap perilaku Airin.
Arga membelai nisan yang tertancap di atas tanah gembur lembek karena hujan beberapa jam lalu. Tertulis di sana nama yang selalu membuat Airin sedih jika mengingatnya. Di bawahnya tanggal ketika Airin ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga. Karena saat dia meninggalkannya dalam kepedihan Airin juga ditinggal dalam penyesalan yang diyakini akan seumur hidup. “Terima kasih sudah meninggalkannya. Aku bersyukur Tuhan memilihku untuk menjadi penenangnya. Dia tidak bisa hidup bahagia dengan rasa penyesalan darimu. Izinkan aku mengubahnya. Semua perasaan Airin padamu. Rasa sakit yang dia terima, izinkan aku memilikinya.”
Perasaan bisa berubah tapi kenangan tidak. Meneteskan air mata karena kenangan memang bukan tangisan yang dipaksa. Ketika mengingat kenangan jangan membiarkan seseorang terluka. Jangan sampai mereka menjauh, meninggalkanmu kembali pada kesenduan. Airin beruntung karena Arga yang dia pikir duplikasi dari orang yang menghantui memorinya tidak menuntut banyak. Bahkan Arga bersedia menemani Airin ketika teringat kenangannya. Seseorang yang menghapus air mata, mengelus rambutnya dan menyediakan bahu untuk menopang kepedihannya.
“Kau boleh pergi jika tidak sanggup menerima kenanganku.”
“Tidak akan.”
TAMAT

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-sedih/lukisan-oleh-langit.html

Catatan Hati Seorang Ayah

Catatan Hati Seorang Ayah




Aku rasa hal semacam ini sering ku alami. Krisis yang menjadikan kehidupanku semakin mengikis jiwa, dan usiaku terus bertambah setiap harinya. Angan dan harapan seakan melayang tak tahu kapan terwujud. Anak-anak kian hari makin bertambah besar, semakin pula kebutuhan ekonomi melonjak, sedangkan krisis tak pernah berakhir. Pada siapa perasaan ini ku tumpahkan, orangtua telah tiada. Hanya saudara dan teman yang jadi tempat berkeluh kesah. Tapi, Aku tidak boleh putus asa, apapun resiko, di mana pun aku harus mencari, aku harus bisa menghadapi berbagai macam kendala.
Di perantauan aku mengalami kendala yang sangat menyakitkan. Terkadang aku merasa putus asa apakah aku sanggup menghadapi masalah demi masalah. Sadangkan saat ini aku masih sangsi, dengan penyakit yang aku derita. Kemarin aku merasakan sakit perut yang belum pernah aku alami sebelumnya. Tetapi sudah berbagai obat tidak sembuh juga. Akhirnya aku bicara langsung pada bos, untungnya langsung dibelikan obat yang mahal. Setelah diminum, beberapa jam langsung tidak terasa. Alhamdulillah…
Walaupun begitu, Minggu yang ketiga ada saja masalahnya, yang namanya sakit kepala menyerang tiap hari. Tiap hari itu pun aku minum obat sakit kepala yang murah di pasaran, tetapi tidak sembuh juga. Sudah itu, kepalaku pernah terbentur kayu sampai keluar darah. Sakitnya bukan main, dan lama sekali sembuhnya. Untuk itu, banyak sekali uang yang aku keluarkan untuk membeli obat, habis sudah. Tetapi yang terpenting aku bisa bertahan hidup. Beginilah resiko jadi kepala rombongan buruh. Apalagi tenagaku dibutuhkan oleh mereka. Aku harus mampu menghadapi godaan apapun. Tapi Andai aku bisa merubah segala hidupku ini. Mungkin penderitaan tak akan ku lalui berkepanjangan. Namun kapan aku bahagia?
Sakit…
Aku tak peduli dengan kesehatanku sekarang ini. Yang penting aku harus bekerja, bekerja, dan bekerja. Tetapi kondisiku semakin drop, aku memutuskan pulang ke kampung. Mau tak mau aku harus istirahat. Menurut dokter, aku terkena paru-paru basah. Bagaimana ini, anak-anakku masih kecil-kecil dan perlu perhatian dari orangtua. Semakin hari aku semakin takut. Di tengah malam aku terkadang menangis tanpa sebab. Apakah penyakitku bisa sembuh? batuk dan sesak sangat mengganggu tidurku. Aku hanya bisa pasrah pada Tuhan. Aku semakin sedih saat istriku menangis setiap aku kesakitan. Tenanglah, menangis bukan cara menyelesaikan masalah. Berdoa adalah hal yang terpenting untuk sekarang.
Aku sebagai kepala keluarga, tulang punggung keluarga, aku harus kuat. Keluarga itu nomor satu. Aku harus bangkit dari keterpurukan. Setiap hari aku menuruti apa yang dokter bilang. Bersama istriku yang ikut berjuang, hari demi hari aku semakin pulih. Dan walaupun kadang masih terasa sakitnya, aku harus tetap kuat dan berusaha agar sembuh total. Dan kesembuhanku hari itu adalah dimana awal untuk berjuang lagi. Bekerja dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ini sudah jadi nasibku. Semoga saja umur dan rezeki tak pernah terhambat karena penderitaan. Oh Tuhan semesta alam… Berikanlah jalan terang agar kami bisa meniti jalan setapak yang penuh semak berduri dalam mencari jati diri. Siapa diriku yang sebenarnya. Bisakah aku merubah hidupku. Bisakah aku terhindar dari penderitaan yang panjang. Bisakah aku membahagiakan anak dan istriku dan selamat dunia akhirat. Semoga itu akan tersampaikan lewat kata-kata yang aku tuliskan.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/catatan-hati-seorang-ayah.html

Kemenangan Di Tangan Kita

Kemenangan Di Tangan Kita



Kemenangan adalah hal yang ingin diraih dalam suatu kompetisi. Dalam sepak bola kemenangan adalah hal yang diinginkan sebuah tim untuk meraih juara. Di suatu pagi yang cerah di lapangan ada 3 anak yang berlatih sepak bola yaitu Matsu, Oliver, dan Roger. Mereka sering berlatih setiap hari minggu pagi. Pada suatu saat Matsu mengajak oliver dan Roger membentuk Tim baru, Tim tersebut telah dibentuk Oleh Matsu, ia sebagai kapten di tim itu diikuti oleh Oliver dan Roger. Mereka bertiga mulai mencari anggota baru untuk membentuk sebuah tim lalu, tim terbentuk dengan 13 orang. Anggota baru tersebut ditambah 10 pemain setelah 3 sahabat yaitu Matchy, Yocchan, Charlie, Edgar, Kim, Tom, Evan, Elvis, Bucky, dan Chang. Mereka mulai latihan hari senin sore dan keesokan harinya Matsu mengajak timnya mengikuti kejuaraan bola junior Tingkat Provinsi mereka semua ikut mewakili provinsi DKI Jakarta.
Di pertandingan pertama mereka melawan tim Sumatera Barat mereka menang 2-1 gol pertama dicetak Matsu dan gol kedua dicetak Charlie. Pertandingan kedua mereka menang lagi 1-0 gol dicetak Matsu sang kapten. Di perempat final mereka menang 2-0. Kedua gol tersebut dicetak Yocchan. Di semifinal mereka menang 1-0 Gol dicetak Kim. Dan tibalah pertandingan yang sangat dinanti setelah mereka menang berturut yaitu pertandingan Final melawan jawa timur, sebelum pertandingan Matsu mengajak timnya berdiskusi tentang tim jawa timur.
“Apakah kita bisa menang lawan Jawa timur?” kata Matchy Matsu menjawab dengan Tegas.
“Bisa jika kita berusaha pasti bisa.”
“Tapi kapten Tim jawa timur punya pemain andalan Yaitu Rocky dia pemain yang hebat. Aku takut jika dia mengalahkan kita.” kata Tom.
“Kita tidak usah takut melawan tim Jawa Timur kita harus berusaha meskipun lawan kita sulit.” Kata Matsu dengan tegas. Setelah diskusi mereka meneriakkan yel mereka yaitu DKI JAKARTA Kemenangan di tangan kita!!! Yeay!!! Pertandingan Final dimulai menit ke-24. Tercetak gol pertama dari Jawa Timur dicetak Oleh Rocky Skor 0-1 untuk Jawa Timur menit ke-44 tercetak gol kedua Jawa timur 0-2 dicetak oleh Rocky pemain hebat dari Jawa Timur. Babak pertama berakhir.
Di ruang ganti Matsu berkata, “Kita kalah di babak pertama! kita harus mengubah strategi kita yaitu Bucky dan Chang menggantikan Evan dan Tom di posisi belakang bersama Elvis dan Edgar di tengah kita pasang Kim, Charlie, dan Yocchan, Kiper Tetap Oliver. Di depan kita pasang Matchy, Roger, dan aku. Kaptennya tetap aku. Formasi kita 4-3-3 mengerti kalian semu?” kata Matsu dengan tegas dan bijaksana. Mereka semua menjawab dengan serentak, “Ya!!!”
Babak Kedua dimulai menit ke-61 Roger mencetak gol pertama untuk DKI Jakarta skor 1-2. Menit ke-79 Matchy mencetak gol kedua untuk DKI Jakarta skor 2-2. Menit ke-89 Roger dijegal di kotak penalti Jawa Timur dan terjadi penalti untuk DKI Jakarta. Matsu sang kapten mengeksekusi penalti dengan tepat dan gol!! Gol ketiga tercetak dengan skor 3-2 lalu waktu telah memasuki menit ke-90 dan pertandingan berakhir dengan skor 3-2. Tim DKI Jakarta menang dan juara piala provinsi tahun 2015/2016 diraih oleh DKI Jakarta mereka tim yang tidak terkalahkan. Setelah perolehan juara Piala juara diangkat oleh Matsu sang kapten.
“Sudah ku duga ya tim kita menang ya,” kata Rodger.
“Tim kita menang itu ide siapa dulu? Ya ideku lah.” Kata Matsu. Setelah tidak terkalahkan akhirnya Tim DKI Jakarta Juara piala Provinsi Tahun ini berkat Matsu dan kawan-kawan. “Kemenangan di tangan kita!” Yel Teriakan Tim DKI Jakarta Setelah menjadi Juara Piala Provinsi.
Cerpen Karangan: Lukman Umar

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-perjuangan/kemenangan-di-tangan-kita.html

Pengagum Rahasia

Pengagum Rahasia



“Jangan kau katakan aku lemah jika kau hanya melihatku ketika aku sedang menangis tersedu-sedu” kalimat itu ku katakan kepada sahabatku, Maryam. Maryam kerap kali disapa Mary oleh orang-orang sekampung. Aku dan Maryam sudah bersahabat selama 8 tahun lamanya, ia tinggal dengan keluarga sederhana dengan jarak yang tidak begitu jauh dari rumahku. meskipun umurku sangat berbeda jauh dengannya, dia tetap menjadi pendengar yang baik di saat aku sedang mengalami kegagalan, kegelisahan bahkan selagi aku sedang putus cinta dan jatuh cinta sekalipun.
Sore ini aku duduk bersama Mary di teras depan rumahku, dan terasa ia tengah mengelus-elus bahuku “sudahlah El, jangan kau tangisi itu. Mungkin ini adalah jalan terbaik untukmu. Ayolah tersenyum, kau terlihat manis saat tersenyum” katanya. Segera ku usap air mata memalukan ini dan aku berkata dalam hati “untuk apa aku menangis?” tapi rasanya begitu sulit bagiku tuk menahannya, sungguh bodoh kali ini aku menangis karena pria itu. Sudahlah esok hari aku akan menjalani lembaran baruku, esok adalah hari pertamaku menjalani masa orientasi siswa di salah satu SMA yang asing bagiku.
Malam ini terasa sunyi, yang terdengar di tengah malam kini hanyalah beberapa suara jangkrik yang tengah asyik bermain hujan. Gerimis air hujan pun turun perlahan, membuat situasi semakin syahdu. Bergegas aku pergi ke kamar kecil dan mencuci muka, karena aku lupa atas apa yang harus ku bawa esok hari.
Suara gerimis air hujan membuatku tertidur lelap di atas tas yang akan ku bawa untuk bekal esok hari. Suaranya merdu sekali. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang amat keras, aku takut akan hal ini sungguh tidak mungkin jika aku harus membangunkan seisi rumah untuk menemaniku membukakan pintu dan menyambut tamu di tengah malam hujan seperti ini. Dengan penuh keberanian perlahan aku mulai menuruni satu anak tangga kayu yang suaranya mungkin bisa membangunkan orangtuaku “kkrekk” ku pelankan langkah kaki ini satu demi satu anak tangga ku lalui dan akhirnya menuju anak tangga yang terakhir. Sungguh lega rasanya, tetapi rasa lega ini belum sepenuhnya merdeka karena aku masih harus menyambut tamu di tengah malam seperti ini. Lalu aku berjalan menuju pintu ruang tamu yang semakin dekat ternyata ketukan pintu itu smakin keras dan aku semakin gugup, dengan penuh percaya diri lalu ku buka pinti itu “kkkreeekkk”.
Lantas aku terdiam, menatapi wajah pria itu dengan lengan yang Nampak sedang memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan. Pantas saja ia kedinginan di tengah malam gerimis ini ia masih menyempatkan diri untuk mengganggu orang lain yang sedang tertidur lelap dan sedang menikmati mimpinya ke alam lain.
Segera aku mengambilkan handuk tebal dan ku berikan ia secangkir teh hangat untuk mengembalikan suhu tubuhnya semula. “terimakasih” jawabnya. tak sempat ku ucapkan kembali kasih kepadanya ia pun mengambil pembicaraanku dahulu sambil brusaha untuk mengambil jabat tanganku “terimakasih atas kebaikanmu di malam ini,” lalu ia bergegas berdiri dan berusaha meraih gagang pintu rumahku, lalu kutarik kerah bajunya yang lepek “eeiitt.. maksudmu apa datang kemari tuan?” dan ia sepertinya berpura-pura tak mendengar ucapanku ia menghiraukanya dan ia hilang ditelan malam yang kelam tanpa menghilangkan jejak sedikit pun.
Aku berjalan setelah menutup pintu dengan sangat hati-hati aku menaiki anak tangga lagi, 5 menit kemudian tepi aku di anak tangga yang paling akhir, lalu aku berjalan menuju tempat tidur dan menyembunyikan mataku di bawah selimut tebal sambil bertanya-tanya “siapakah pria itu? Untuk apa ia datang kemari?”. Yang jelas aku masih mengingat wajahnya, tak lama kemudian aku dibangunkan oleh ibuku dan ia menyuruhku untuk cepat bergegas pergi mandi karena semakin siang keadaan kamar mandi di rumahku semakin panjang antriannya. “ternyata kejadian semalam itu mimpi”.
Pertama kali kini aku menginjakkan kaki di tempat seperti ini tempat yang lumayan asing bagiku, dalam hatiku tertawa kecil melihat diriku sendiri, “aku pikir aku adalah orang yang paling norak dengan wajah semerawut dan dengan gembolan besar di punggungku,” wajar sajalah, karena malam ini aku akan menginap disini. Aku duduk di depan ruangan perpustakaan sekolah, lalu kulihat segerombolan anak perempuan dan laki-laki yang menatap tajam ke arahku, pandangan matanya pun tak luput dari diri ini yang sedang duduk manis seolah-olah menunggu bis di halte. Aku semakin gemetar, sorotan mata mereka begitu tajam, dan perlahan mereka pun mencoba untuk mendekati aku, kali ini keringat dingin yang hadir di setiap kegugupanku. Tapi kucoba untuk bertahan disini, “tetap berpikir positif, tetap berpikir positif El!” semakin lama semakin dekat kulihat bayangan mereka yang hitam kini mentupi sebagian tubuhku, lalu salah seorang di antara mereka tersenyum “halo? Siapa namamu” katanya. Fiuhh lega rasanya ternyata dengan berpikir positif kita akan mendapat balasan yang positif pula “um.. uhm. na.. na namaku Eldhys” sedikit terkekeh-kekeh untuk menyebut namaku sendiri. Lalu mereka menarik tanganku ke sebuah ruangan hampa di pojok sekolah, dan mereka menyuruhku untuk menyimpan barang bawaan yang menyerupai gembolan maling ini. Dan ternyata mereka mengajakku untuk berkelompok dengannya, mereka adalah teman pertamaku di tempat yang asing ini, yang beranggotakan 9 orang.
Para senior pun mengetuk pintu ruangan kami, dan mereka mengecek peralatan serta jumlah kelompok kami yang kini bertambah 1 manjadi 10 dengan aku. 10 menit lagi aku harus kumpul di lapangan dengan pakaian olahraga dari asal sekolah, aku pun bergegas berganti pakaianku. “ayo cepat cepat cepat! Biasakan hidup cepat kalian ini, sudah dewasa harus cekatan!” kata salah satu senior yang belum diketahui namanya itu, wajahnya bengas dengan sepatu yang lebih bisa dimiripkan dengan perahu, berpostur pendek dan berparas standard. Aku baris di barisan yang paling depan dan berhadapan dengan wajah-wajah senior yang menakutkan ini, tapi biarkanlah santai saja toh mereka juga manusia sama sepertiku.
Di sore yang cerah itu aku duduk dilapangan di bawah sinar mentari yang sudah mulai terbenam. Dan aku disini sedang mendengar celotehan-celotehan para senior yang justru terdengar tidak jelas karena suara mereka terkalahkan dengan suara-suara angin sore yang lembut dan menenangkan suasana hati, pikiran dan jiwa.
Ternyata para senior-senior itu telah memberikan peraturan-peraturan yang harus kami taati dan laksanakan selama masa orientasi ini. Suara adzan telah berkumandang aku dan calon siswa yang lainnya segera membawa alat sholat dan yasiin untuk mengaji bersama, saat diperjalanan menuju mushola seseorang tengah menepuk punggungku “brukk”.. dan ia pun tersenyum dan memasang wajah tanpa dosa di hadapanku, “siapa namamu gadis?” “aku Eldhys” dan ia tersenyum kembali sambil menodongkan jabat tangan padaku, tak sempat ku berjabat tangan dengannya terdengar teriakan keras dari senior yang sudah menunggu kami di depan pintu mushola “woyy bisa cepetaan gak? Waktunya solat nih.. bukan pacaran!” teriaknya, lagi-lagi senior itu lagi yang meneriaki ku. Dengan cepat pria itu pun tampak terlihat kebingungan dengan telapak tangan yang masih saja berada di hadapanku “namaku Ameer, salam kenal!” dan ia pun berlari dengan cepatnya bagaikan kuda yang kehilangan kendali.
“Malam ini kita harus melakukan jurit malam” kata Desy, salahsatu teman seruangan denganku. Lalu kami pergi keluar untuk mengobrol dengan teman di ruang lain sambil menunggu jam jurit malam.
“cepaat! Saya hitung sampai tiga, kalau tidak bisa kalian kena hukuman! Satuu.. dua..” suasana juri malam yang selalu seperti ini yang membuatku bosan mengikuti orientasi, kali ini permainan Tanya jawab di sawah yang berhasil membuat tubuhku menggigil dan bajuku basah kuyup, belum lagi wajah yang sebenarnya setengah mulus ini tak luput dari serangan lumpur sawah, aroma-aroma kotoran kerbau pak tani yang setiap hari hadir di tempat ini pun sekarang telah berpindah ke tubuhku, “tiiiggaa!! kalian tak bisa menjawab pertanyaan saya! Selamat mendapat hukuman!” sambil tersenyum lebar senior itu “blak..bluk.blak..bluk” semakin hitamlah wajah ini terkena serangan lumpur kembali “sungguh menyebalkan!” gerutuku.
Bergegas aku pergi ke kamar mandi dengan Desy, di kamar mandi ia bercerita mengenai secret admirer-nya, yang tadinya aku sedang asyik membersihkan lumpur berbau ini, aku diam sejenak mendengar pembicaraan Desy sambil aku menatap bibirnya yang berkomat-kamit membicarakan tentang pria ruangan sebelah yang akrab di sapa Ameer itu.
Waktu menunjukkan pukul 03:00 dini hari, tampaknya para senior sedang berusaha untuk menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh kami, ada pula senior wanita yang sedang sibuk mengurusi bubur kacang hijau yang aromanya tampak sudah memancing perutku, semua calon siswa pun dengan siap telah berbaris memanjang ke belakang demi segelas bubur kacang hijau yang terlihat kurang menarik di atas meja itu seperti semut-semut kecil yang sedang berantri untuk dibagikan sembako gula dari pemerintah. Tampaknya antrian ini takkan ada habisnya, jarak antara meja itu pun sekitar 32 orang lagi di depanku, aku dan Desy lebih memilih mundur dan menunggu antrian di depan tumpukan kayu bakar dan tampak 2 orang bodoh yang sedang berusaha keras untuk menyalakan api unggunnya, Desy tertawa kecil melihat 2 orang bodoh itu “mana mungkin bisa nyala api unggunnya lha wong kayune buasah kok!” Desy dengan logat jawanya yang lembut dan kental.
Terlihat wajah Ameer yang ceria dikejauhan sana yang sedang membawa 2 gelas bubur kacang hijau yang sambil senyum-senyum girang dan berjalan menuju ke arah kami, Desy pun menyambutnya dengan riang pula, semakin dekat bayangan tubuh Ameer kepada kami, semakin merah pula wajah Desy karena ia sedang mengalami salah tingkah stadium tinggi.

“Maafkanlah kesalahanku Desy, sungguh demi apapun bukan maksudku melukai hatimu, sebelumnya aku pun tak tahu bahwa sebenarnya Ameer memberikan segelas bubur kacang itu padaku, kamu tidak marah kepadaku kan Desy?, percayalah kawan” aku tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa, kini terbukti Ameer sudah sedari awal ia mengincarku, bukan Desy, Desy hanyalah sebagai perantara di antara kita. Dan kini tangisan Desy semakin menjadi-jadi sehingga terdengar sampai ke telinga senior di ruangan berjarak 800 meter dari ruangan kami, “kreekk” seorang senior menyebalkan itu lagi datang menghampiri Desy dan berusaha untuk menenangkannya. Lalu kini sorotan mata para senior yang secara tiba-tiba datang dengan cara yang tidak sopan itu tertuju kepadaku, karena Desy tidak mau menceritakan kepada mereka mengenai masalahnya itu, jadi mereka mengintrogasikanku, aku pun bingung harus bercerita atau tidak, sungguh kejadian yang memalukan.
“Benar seperti itukah kejadiannya Desy?” seru senior itu, “iya kak! Seperti itulah kejadiannya” sambil tersengguk-sengguk menahan tangisnya ia pun mengusap air matanya dan mata itu tertuju padaku, lalu Desy tersenyum lebar, bibirnya seperti bulan sabit yang merah dan berkilauan. Lalu para senior itu pun segera keluar dari ruangan kami sambil berkomat-kamit sendiri.
Aku dan Desy kini tampak seperti biasa lagi, sepertinya Desy tidak marah kepadaku, tapi aku tak tahu perasaan ia yang sesungguhnya. Aku segera bersiap-siap untuk mengenakan baju yang membanggakan kini, baju putih-abu yang sejak 5 tahun kebelakang ku tunggu-tunggu masa-masa SMA kini, “sebentar lagi acara pengesahan siswa-siswi SMAN 1 Cisarua, diharapkan para calon siswa-siswi segera memenuhi aula sekolah” kata para senior yang sudah rapi dan tidak bengas lagi, mereka telah menunggu kami di dalam aula dengan sambutan senyuman lebar dan dengan riangnya karena acara orientasi tinggal hitungan detik lagi akan segera berakhir.
Pada saat pembacaan siswa terbaik angkatan kami, Ameer menjadi siswa terbaik kali ini, Ameer pun mendapatkan hadiah dari sekolah, tampak senyuman Desy yang tulus disampingku sambil berharap bahwa ia lah yang mendapat peserta terbaik siswi. “..dan peserta terbaik siswi dengan presentase 92% diraih oleh siswi bernama…”. Terdengar degup jantung Desy yang semakin berdebar-debar dan ia sepertinya sedang berdoa dalam hatinya “oleh.. Eldhys Shally! selamat untuk adinda dimohon untuk berdiri dan menaiki panggung” dengan wajah pucat Desy tampak kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Mungkinkah aku memberi predikat ini kepadanya? Sungguh tidak mungkin.
Sambil berdiri untuk menaiki panggung, aku berbisik pada Desy “maafkan aku Desy!” dengan penuh rasa percaya diri aku segera berjalan dengan hati-hati untuk berdiri di samping Ameer dan menerima hadiah dari sekolah. Dan ku lihat wajah Desy yang semakin lama bukannya semakin membaik, lalu kulihat ia pergi meninggalkan aula sekolah, entah kemana perginya, sungguh aku merasa aku sangat bersalah, teman macam apa aku ini menyakitkan hati temanku sendiri. Acara pengesahan ini telah berakhir, sampai saat ini aku masih belum bisa melihat batang hidung Desy, aku berjalan menuju ruanganku, niatku untuk meminta maaf kepada Desy sudah sangat bulat. Ketika ku lihat dalam ruanganku itu kosong yang ada hanya gembolan tas besarku yang tergeletak tak berdaya, seolah-olah berharap akan ada orang yang menggembolnya.
“hei.. selamat ya atas penghargaannya!” seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangku dengan gembolan tas serupa “hai Ameer.. ya selamat juga, kau lihat Desy?” ketika ku tanyakan keberadaan Desy, wajahnya menjadi cemberut dan kisut, seperti seorang pedagang kaki lima di emperan-emperan kota. “aku tidak melihatnya, mungkin ia pulang duluan” rasa bersalah ini benar-benar membuatku tersiksa, sepertinya Desy benar-benar membenciku sehingga ia pulang tanpa memberikan pesan sepatah kata pun pada temannya sendiri, aku pikir aku dan Desy akan bertukar nomor handphone atau sekedar berfoto bersama di saat yang penuh kenangan ini. Tetapi malah seseorang yang tidak diharapkan yang meminta nomor handphoneku bahkan dengan nada memaksa ia memintanya, sebenarnya aku tak tega melihat rengekannya belum lagi aku terbayang perasaan Desy nanti ika ia tahu bahwa aku dan Ameer saling terhubung, sudahlah aku lebih memilih pulang saja hari semakin terik dan aku semakin lelah “maaf Ameer..”.
“Aku rindu pada rumah ini”, meskipun hanya satu hari aku berkemping disana tetapi rasanya sudah lama sekali, cerita disana cukup menarik untuk diceritakan kepada ibu, dan juga adikku Jeny. Tampaknya tubuhkku sudah lelah dan aku beranjak menuju kamar tidurku, disinilah tempatku melupakan sejenak masalah-masalah yang telah lalu lampau ku selesaikan maupun masalah yang sedang ku arungi, hidup memang seperti mengarungi lautan, terkadang kita menyerah dan terhempas oleh pusaran ombak lalu kita terjatuh di tengah jalan, tetapi hal itu adalah hal yang sangat tidak diinginkan sekali oleh orang kecil sekalipun. Belum sempat ku menaiki perahu untuk mengarungi dunia mimpi, adikku Jeny mengetuk pintu dengan suaranya yang lembut dan terdengar patah-patah karena ia masih berumur 4 tahun “kakak.. kakak!” tanpa dipersilahkan masuk ia pun sudah masuk kamarku dengan sendirinya, ia duduk di kursi berhadapan denganku yang sedang berbaring ditempat tidur. “kemarin ada laki-laki datang ke rumah kak, ia berambut keriting seperti Jeny” aku terkejut dan langsung duduk menatap wajahnya tajam-tajam, tetapi ia malah pergi “dasar anak-anak” gerutuku.
Aku masih penasaran dengan ucapan adikku tadi siang, tapi sudahlah mungkin yang datang adalah temannya yang mengajaknya bermain Barbie keluaran baru.
Aku berjalan menuruni anak tangga yang sudah reyot ini untuk pergi ke dapur dan mencari makanan “El, sini makan” seru ibuku yang sudah menungguku di meja makan dengan hidangan yang lezat dan nikmat buatan ibu asli. Ditengah-tengah acara makan aku dengan ibuku, ibuku bercerita “El, kemarin ada pria datang kerumah mencarimu, ia berambut keriting seperti Jeny” tiba-tiba aku tersendak, dan segera ibu memberiku air minum lalu aku menghentikan acara makanku. “Ternyata anak kecil tidak pernah bohong”, aku terkejut karena aku ingat dengan seorang pria yang tidak pernah ku kenal sebelumnya yang datang di saat hujan di tengah malam, lalu esoknya aku baru sadar ternyata semalam itu hanya mimpi, rambutnya memang sedikit terlihat mirip dengan Jeny. Lalu ibu berkata lagi “dan ia menitipkan sebuah surat untukmu, ibu belum membukanya, karena ibu pikir ini surat dari pacarmu”.
Dengan cepat aku menaiki tangga menuju lantai atas untuk menuju ke kamarku, penasaran sekali aku dengan dia. Sebenarnya aku sedikit takut, tapi rasa takut ini tergilas dengan rasa penasaranku pada benda asing yang kini telah ada digenggaman tanganku sendiri, dengan amat hati-hati aku membuka sutar berwarna merah muda itu, kertas yang beraroma parfum pria itu sdang menggelitiki hidungku, dengan cermat kubaca isi dari surat itu dalam hati.
Wajahku terbengong-bengong saat membaca surat ini, ternyata benar dugaanku surat ini adalah surat dari pria misterius itu. Tapi aku malah merasa illfeel dengan pria yang amat sangat tidak gentle ini, “untuk apa ia mengirimkan surat ini kepadaku jika ia memang benar-benar penggemarku”.
Lalu ku buat surat ini menjadi terlihat seperti bola yang sudah siap untuk memasuki gawang gol yang ada di pojokkan kamarku, “buang sajalah, tidak penting”.

sumber: http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/pengagum-rahasia-2.html

Cinta Itu Dekat


Cinta Itu Dekat




Seperti biasanya gue memulai aktifitas seperti orang pada umumnya. Bangun pagi, mandi, sarapan dan pergi ke sekolah. Gue Bob, sekarang gue kelas 11 SMA. Ini kisah tentang hidup gue, tepatnya kisah percintaan gue. Gue udah jomblo dari zigot, gue nggak pernah berani deketin cewek. Sebelum gue cerita tentang percintaan gue, gue mau kenalin beberapa temen gue. Yang pertama ada Hilmi, gue kenal dia dari kelas 10.
Dulu gue duduk sebangku sama dia, itu yang bikin gue deket sama dia sampe sekarang. Dia itu suka banget makan mie, sesuailah sama namanya Hilmi dan untungnya hanya badannya aja yang mekar tapi nggak berbentuk mie. Selain itu ada Brandon, dia suka banget dengerin lagu dangdut. Di hp-nya semua lagu dangdut, kalau ada lagu galau itu juga lagu dangdut. Selain itu dia juga suka cengengesan nggak jelas, walaupun begitu banyak cewek yang suka sama dia.
“Bob, lu udah ngumpulin catatan biologi?” tanya Hilmi.
“Wah belum, gue pinjem punya lu Mi?!”
“Punya gue kan udah dikumpulin.”
“Ya udah gue pinjem punya lu aja Brandon?”
“Punya gue juga uda dikumpulin. Tuh pinjem aja sama Fitri, siapa tahu dia belum dikumpulin?” saran Brandon.
Gue pun menghampiri Fitri, “Fit, gue pinjem buku catatan Biologi lu ada nggak?”
“Ada, nih bukunya.”
“Ya ampun cantik banget nih cewek, seyumnya manis. Kenapa gue baru sadar ya.” Gumam gue dalam hati.
“Bob, kenapa diam? ini bukunya.”
“oh ya, Thanks.”
Waktu istirahat pertama gue menceritaan perasaan gue tentang Fitri sama Hilmi dan Brandon. Mereka pun menyarankan gue untuk minta nomor hp dia untuk PDKT. Awalnya gue agak ragu, tapi gue pun memberanikan diri untuk minta nomor hp-nya. Dan hasilnya nggak terlalu buruk, malah Fitri juga kasih biodata dia. Gue pun berniat untuk tembak dia sebelum ada yang tembak dia duluan. Tapi kata Hilmi, gue kecepetan seharusnya gue PDKT dulu. Yah, gue pun mengikuti saran Hilmi.
Sesampainya di rumah, gue coba untuk BBM dia. Gue tunggu menit demi menit dia belum bales. Gue jadi uring-uringan, rasanya lama banget baru beberapa menit aja. Gue tiduran, duduk, tiduran lagi sampai akhirnya dia bales BBM gue juga. Setelah beberapa saat gue BBMan sama dia, gue pun ajak dia jalan sebagai langkah PDKT gue selanjutnya. Fitri pun mengiyakan permintaan gue.
Besoknya, setelah pulang sekolah gue pun jalan bareng dia. Kita jalan-jalan ke Mall, gue ajak dia ke area permainan supaya suasananya lebih fun aja dan enak untuk ngobrol. Setelah itu gue ajak dia makan di Fast Food, ternyata Fitri memang sesuai dengan tipe cewek yang gue suka. Gue pun berncana untuk menembak dia setelah pulang dari sini.
“Thanks ya Bob, buat jalan-jalannya hari ini terus uda nganterin gue pulang.”
“oh ya, sama-sama. Emm, Fit ada yang mau gue omongin. ”
“ya udah omong aja”
“Lu mau gak jadi pacar gue?”
“Hah, Bob kita kan baru deket beberapa hari. Gue belum kenal lu begitu deket. Sorry Bob, gue gak bisa.” Jawab Fitri sambil berlalu meninggalkan gue.
Sumpah perasaan gue hancur banget, baru pertama kali nembak langsung ditolak mentah-mentah. Gue pun cerita sama Hilmi, tentang kejadian kemarin. Dia cukup kaget denger cerita gue, sampai-sampai filosofi mie dibawa-bawa sama dia.
“dengerin ya Bob, Mie aja yang jelas-jelas ada tulisan Instantnya harus diproses dulu sebelum dimakan. Dimasak, ditiris, baru di makan apalagi cinta Bob.”
Gue pikir bener juga kata Hilmi, gue terlalu instant nembak Fitri seharusnya gue lewatin dulu prosesnya. Setelah kejadian itu, sulit bagi gue buat move on. Butuh beberapa bulan buat gue menata percaya diri gue dan hati gue. Sampai satu moment, Hilmi ngajakin gue salat di masjid. Jujur gue juga uda lupa kapan terakhir gue salat. Sesampainya gue di masjid, tiba-tiba pandangan gue tertuju pada satu cewek. Gue tanya sama Hilmi, ternyata namanya Aisyah. Selesai salat gue coba untuk kenalan sama dia, kebetulan momentnya pas.
“Hai, nama lu Aisyah ya. Kenalin gue Bob.” Aisyah hanya mengganggukkan kepala sambil meneruskan mengikat tali sepatunya.
“Lu kelas berapa, kok gue jarang lihat ya?”
“gue kelas 11 IPA.” Sambil terus mengikat tali sepatunya tanpa memandang gue.
“kok gue jarang lihat ya, kelas lu di atas?!” Dia pun kembali mengganggukkan kepalanya, kemudian dia bilang.
“maaf ya, kalau kamu sering ke masjid aku pasti sering lihat deh.”
Sekarang giliran gue yang menganggukkan kepala dengan perasaan sedikit malu.
“duluan ya Akhi.” Kata Aisyah.
“Nama gue bukan Akhi, tapi Bob.”
“oh ya, duluan ya Bob. Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sejak perkenalan pertama gue itu, gue sepertinya suka sama Aisyah. Tapi Aisyah mana mau sama gue yang salatnya aja jarang-jarang baca Al-Quran aja belum lancar. Dia itu cewek yang saleha. Kalau gue ketemu dia, dia pasti lagi ngaji atau diskusi rohani sama temen-temennya. Akhirnya gue belajar ngaji lagi untuk memperlancar bacaan gue bahkan gue jadi rajin salat walaupun belum waktunya adzan gue udah ngajakin Hilmi ke masjid.
Kali ini gue harus ikutin kata Hilmi, gue harus ikutin proses PDKT yang benar. Gue pun coba untuk ngobrol sama dia, dengan jurus PDKT gue akhirnya dia malah pinjemin buku ke gue. Padahal niat awalnya gue cuma mau ngobrol aja, supaya bisa deket sama dia tapi nggak apa-apalah. Setelah gue rasa waktunya sudah tepat, gue cerita sama Hilmi dan Brandon tentang perasaan gue ke Aisyah. Gue pun merasa sudah melewati proses PDKT dengan baik, jadi sudah waktunya gue nembak Aisyah. Setelah salat, gue pun menghampiri Aisyah dan mengutarakan perasaan gue.
“Aisyah, gue suka sama lu.”
“maksudnya.” Aisyah agak terkejut dan bingung.
“ya, lu mau gak jadi pacar gue?”
“Astagfirullah, ingat Allah. Salat sana.” Dengan nada marahnya.
“tadi kan gue udah salat.”
“Yau dah pulang sana.”
“Jadi gue ditolak.”
“Au ah.” Aisyah pun berlalu meninggalkan gue.
Lagi-lagi gue ditolak, kesalahan gue kali ini di mana coba. Bahkan gue udah berkorban, demi dia gue jadi rajin salat dan ngaji. Setelah gue cerita sama Hilmi dan Brandon dengan perasaan hancur untuk kedua kalinya, Hilmi pun kembali menyadarkan gue dengan kata-katanya.
“Bob, kalau lu ibadah itu harus diniatin karena Allah bukan seseorang apalagi cewek. Gimana Allah mau ngerestuin lu coba.”
Yah, mungkin kali ini memang cara PDKT gue yang salah. Lagi-lagi gue harus move on. Setelah beberapa hari kejadian itu, gue memutuskan untuk jalan-jalan ke taman untuk refreshing pikiran dan hati. Gue duduk di taman sambil dengerin musik dan menyanyi. Entah kenapa cewek yang ada di depan gue sedang melukis, tiba-tiba menangis. Gue menghampirinya dan mencoba bertanya kenapa dia tiba-tiba menangis. Gue pikir dia itu nangis karena suara gue jelek, haha tapi nggak deh.
Ternyata dia itu nangis karena ingat mantannya, pas denger gue nyanyi lagu itu. Gue pun kenalan sama dia, namanya Dinda. Semenjak perkenalan pertama itu gue jadi lebih deket sama dia sudah hampir sebulan terakhir ini. Gue coba bikin lagu buat Dinda, supaya dia gak sedih lagi dan nggak inget mantannya terus. Semoga kali ini gue nggak gagal lagi deketin cewek, dan siapa tahu Dinda bisa jadi cewek gue.
Keesokan harinya gue ajak Dinda bersepeda bareng, habis itu gue mau ngajak dia beli bola basket. Dia itu cewek yang seru juga buat diajak ngobrol, baik dan cantik juga. Kita memutuskan untuk istirahat setelah cape bersepeda.
“Bob, lu haus gak? Gue beliin minum ya, tapi lu pegangin hp gue dulu ya.”
“ok, Din.”
Belum lama dinda pergi, tiba-tiba hpnya berdering. Gue penasaran, akhirnya gue buka pesannya ternyata dari mantannya yaitu Brandon. Perasaan gue kembali hancur dan mengurungkan niat gue untuk menunjukkan lagu ciptaan gue ke Dinda.
“Nih minumnya Bob.”
“Thanks Din. Oh ya, nanti beli bola basketnya nggak jadi ya. Solanya gue ada urusan mendadak.”
“oh, yau dah nggak apa-apa.” Setelah itu gue pulang, di tengah perjalanan gue membuang kertas berisi lagu ciptaan gue.
Lagi dan lagi, kenapa ya hidup gue sial banget terutama soal percintaan. Pertama Fitri, gue teralu cepat nembak dia dan akhirnya gue ditolak. Kedua Aisyah, seharusnya gue sadar nggak semua cewek bisa gue pacarin salah satunya Aisyah. Dia cewek alim dan punya prinsip nggak mau pacaran. Ketiga Dinda, seharusnya gue cari tahu dulu asal-usulnya dia yang ternyata mantan sahabat gue sendiri.
Ya sudahlah, gue ambil positifnya aja dari semua kejadian ini mungkin lebih baik gue single dulu. Fitri sekarang udah punya pacar, Dinda balikan lagi sama Brandon. Dunia… kenapa sempit banget sih, mereka lagi-mereka lagi. Tapi setidaknya gue masih punya sahabat. Setelah meratapi kesialan gue soal cinta, pandangan gue tertuju pada seseorang di taman itu. Gue pikir nggak ada salahnya kalau gue sharing sama orang lain.
“Hai, gue sepertinya pernah lihat lu deh? Nama lu siapa?”
“Iya, nama gue Ira.”
Gue diam sejenak, masih memikirkan nasib gue.
“lu kenapa?” tanya Ira.
“lagi mikirin hal yang seharusnya nggak gue lakuin. Pertama gue nembak cewek kecepetan akhirnya ditolak. Kedua gue nembak cewek alim, malah diceramahin. Ketiga gue deketin cewek yang mantan sahabat gue sendiri dan sekarang udah balikan. Parah banget kan?!”
“Biasa aja kok.” Respon Ira datar.
“loh kok biasa aja?” gue bingung kenapa repon dia datar. Tiba-tiba dia nunjukin ke gue sesuatu.
“lu ingat ini, dan juga ini.” Sambil mengeluarkan secarik kertas yang ternyata lagu gue buat Dinda dan buku yang gue pinjam dari Aisyah.
“loh kok bisa ada di lu, gimana caranya?”
“iya Bob, gue ada waktu lu jalan sama Fitri. Gue juga ada waktu lu ditolak Aisyah, dan buang buku dari Aisyah. Gue juga ada waktu lu jalan sama Dinda dan buang kertas ini. Gue juga sering perhatiin isi twitter lu.”
“oh jadi…” entahlah dengar cerita Ira, tatapan gue jadi berbinar seperti ada cahaya terang yang menyinari hati gue. Tatapan Ira juga jadi berubah tersipu malu. Kemudian gue ajak dia keliling taman.
Ternyata selama ini ada seseorang yang memperhatikan gue, dan sayangnya gue nggak pernah sadar. Mungkin ada benarnya, cinta itu selalu ada di dekat kita tapi masih saja kita mengejar yang jauh dan tak pasti. Tentang kelanjutan gue dengan Ira, hehe biar waktu yang jawab.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/cinta-itu-dekat.html

Kisah Kertas, Peraut dan Pena


Kisah Kertas, Peraut dan Pena



Di dunia alat tulis, hiduplah Kertas, Peraut, dan Pena. Mereka sudah bersahabat sejak dulu. Suatu hari, mereka berjalan-jalan mengitari meja tulis si pemilik mereka yang bernama Andi. Tiba-tiba, Andi mengambil Kertas dan Pena. Ia mencoret-coret Kertas dengan Pena.
“Andi, ayo keluar kamar. Kita akan makan malam” teriak ibu Andi.
“Iya, Bu” jawab Andi sambil berjalan keluar kamar.
“Ha ha ha… Kamu penuh coretan, Kertas. Lihatlah aku. Aku berwarna hitam dan tidak bisa di coret” ejek Peraut kepada Kertas.
“Hei, Peraut. Kamu hanya pandai menertawakan orang lain. Dasar orang jahat!” hardik Pena.
“Pena, kita bukan orang. Kita alat tulis” jawab Peraut.
“Terserah kau lah” marah Pena.
“Sudah, sudah. Ayo kita beristirahat” lerai Kertas yang sudah kotor karena di coret-coret. Mereka bertiga duduk beristirahat.
Cuaca pada saat itu sangat panas. Peraut kepanasan. Wajahnya penuh dengan cucuran keringat. Sedangkan Pena dan Kertas tidak merasakan panas karena tidak berongga.
“Hai, Pena. Maukah kau menolongku?” kata Peraut kepada Pena.
“Aku bersedia menolongmu. Apa kesulitanmu?” tanya Pena kepada Peraut.
“Tolong, hidupkan kipas angin itu. Aku kepanasan” jawab Peraut. Segera, Pena berjalan ke kipas angin dan memijak tombol ON. Kipas angin itu menerbangkan kertas yang tipis. Melihat kejadian itu, Pena langsung mematikan kipas angin itu.
“Ha ha ha…. Kau berterbangan seperti kapas. Ayo, Pena. Hidupkan lagi kipas anginnya!” ucap Peraut dengan nada mengejek.
“Hei, Peraut. Kau terlalu kejam. Kau tidak pantas menjadi sahabat kami. Sekarang, kau tidak menjadi sahabat kami lagi!” marah Pena.
“Ya, sudah. Aku tidak keberatan” santai Peraut sambil meninggalkan Pena dan Kertas.
Di lain waktu, ketika Kertas dan Pena berjalan-jalan, tiba-tiba Andi, si pemilik mereka, mengambil Pena lalu mencoret-coret buku. Setelah selesai mencoret-coret buku, Andi langsung keluar kamar.
“Astaga, tintaku sudah habis!” keluh Pena. Peraut yang melihat kejadian itu, langsung mendekati Pena dan mengejeknya.
“Ha ha ha… Kamu kehabisan tintanya. Kamu akan di buang Andi. Ha ha ha…” ejek Peraut kepada Pena.
“Hei, Peraut. Mengapa kamu di sini?. Kau tidak menjadi sahabat kami” bentak Kertas kepada Peraut.
“Ya sudah. Aku pergi saja ah” kata Peraut sambil meninggalkan Kertas dan Pena. Peraut berjalan ke rumahnya, yaitu kotak pensil Andi. Di dalam perjalanan, tiba-tiba Andi datang dan merampas Peraut. Andi meraut pensilnya dengan Peraut. Ia meraut pensilnya sangat lama, hingga akhirnya Peraut menjadi sangat kotor gara-gara sampah pensil Andi. Karena kotornya, Andi meniup Peraut.
“Jangan, Andi!. Nanti aku tidak tajam lagi seperi dulu” teriak Peraut. Tapi, ia terlambat!. Andi sudah meniupnya berulang-ulang kali. Selesai meniup Peraut, Andi kembali meraut pensil yang lainnya kepada Peraut. Namun, Peraut tidak tajam lagi seperti dulu. Karena itu, Andi membuang Peraut dan menggantinya dengan yang lain.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/kisah-kertas-peraut-dan-pena.html

Selimut Bali Raza

Selimut Bali Raza



Di tengah hari, gadis cilik bernama Raza berlarian di pinggir selokan sambil terengah-engah. Matanya beberapa kali kelilipan terkena debu beterbangan. Sampai ia berhenti di depan sebuah toko selimut bali, dengan tangan hitamnya ia mendorong sekuat tenaga pintu toko yang lumayan berat itu.
“Mbak, selimut yang kemarin sudah dibeli ya?” tanyanya.
“Eh, belum dik. Namanya siapa?” tanya petugas toko.
“Raza mbak. Saya gak pesen kok, cuma insya Allah beli,” ujar Raza.
“Oh gitu. Kirain kamu mau beli!” mbaknya kesal, lalu meninggalkan Raza di dekat pintu. Raza pun pulang kembali dengan perasan kecewa.
“Assalamu’alaikum,” Raza membuka pintu rumahnya yang kecil, bisa dibilang gubuk.
“Wa’alaikum salam. Raza, baru pulang? Dari mana?” tanya ibu.
“Dari toko selimut Bali,” jawab Raza lesu.
Ibunya Raza seorang pencuci keliling. Anaknya, Raza dan Shofi kadang membantunya mencuci atau jualan gorengan di kantin sekolah. Semuanya karena ekonomi. Mereka tidak mampu. Makan sehari saja dua kali. Tapi bersyukur, Allah masih memberi rezeki dan kehidupan.
“Nak, kita gak punya uang, darimana mau dapat selimut Bali?” ibu menggeleng-geleng, lalu melanjutkan mencuci.
“Kak Raza, tadi aku dikasih dua buku tulis sama bu guru. Karena katanya aku pinter,” Shofi menunjukkan dua buku tulis. Satunya berwarna biru satunya berwarna ungu.
“Aku kasih kakak satu,” Shofi memberikan buku tulis biru kepada Raza.
“Makasih, Fi,” Reza tersenyum. Lalu dengan lesu, dia bersandar di bantal tempat tidurnya.
Keesokan harinya…
Aroma teh tercium oleh Raza. Raza berpikir, biasanya kalau ada teh berarti ada yang sakit! Raza lalu bangkit, dan mendapati ibu dan Shofi duduk di sebelahnya. Shofi sedang menangis dan ibu sedang mengaduk teh.
“Aku kenapa?” tanya Raza bingung. Ibu dan Shofi hanya diam. Ibu menyodorkan segelas teh pahit, yang biasa dipakai kalau ada yang sakit.
“Aku kenapa? Sakit kah aku?” tanya Raza lagi, mulai kesal karena Shofi menangis tambah deras walau tanpa suara.
“Kamu sakit lagi nak…” jawab ibu lirih. Raza terkejut. Ia mulai menitikkan air mata.
Sebenarnya hari ini ulang tahun Raza, tapi ibu dan Shofi tidak tahu mau memberikan apa, karena tak punya uang.
Raza punya penyakit gatal-gatal dan demam yang aneh. Dokter belum tahu itu penyakit apa. Shofi yang merasakannya. Ia memegang dahi Raza waktu itu. Panas… Sekali. Setelah di bawa ke klinik ternyata dokter tidak tahu penyakit apa itu. Yang penting… Parah.
Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu. Ibu dengan lunglai berjalan ke depan pintu lalu membukanya.
“Assalamu’alaikum!” seru seseorang. Ternyata Melly dan keluarganya. Kenapa mereka ke sini?
“Tadi waktu lewat saya dengar suara ibu nangis. Raza sakit lagi?” tanya mama Melly. Ibu mengangguk.
“Eh silakan masuk,” ibu berusaha tersenyum. Melly sekeluarga masuk.
Melly adalah anak paling kaya di sini. Dia dari Melbourne, Australia. Anaknya baik hati dan senang untuk berbagi.
“Semoga cepat sembuh ya, Za!” Melly membelai kepala Raza yang terbaring di kasur.
“Iya, makasih udah datang Mel!” Raza tersenyum tipis.
“Saya cuma mau kasih Raza obat.” mama Melly memberikan Raza obat. Di taruhnya obat itu di meja di samping tempat tidur.
“Agar tidur Raza nyenyak, saya tadi mampir ke toko selimut cari selimut Bali, dapet. Semoga suka ya! Selamat ulang tahun!” papanya Melly memberikan kantong plastik bertuliskan ‘GALERI SELIMUT’. Raza menatap Melly dengan mata berbinar-binar.
“Makasih banget, om tante!” Raza girang sekali. Melly dan Raza berpelukan. Tiba-tiba, satu persatu merah-merah dan panas badan Raza hilang. Raza merasa aneh.
“Lho?” Raza memegang tubuhnya.
“Kamu sembuh ZAAA!” pekik ibu girang. Raza tersenyum senang. Sore itu Raza bisa merasakan kehangatan selimut Bali, gratis. Dengan perjuangannya melawan penyakit.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-anak/selimut-bali-raza.html

Guru Ku Motivasi Hidup Ku

Guru Ku Motivasi Hidup Ku



Tidak terasa sebentar lagi tanggal 25 November. Dimana semua siswa Indonesia akan memperingati hari guru. Jika aku melihat jasa para guru, itu sangat berjasa sekali bagiku. Guru tidak pernah lelah untuk memberikan semua ilmunya, yang kelak akan bermanfaat untukku di masa depan. Tanpa guru aku bukanlah siapa-siapa. Bukan orang yang berpendidikan. Juga bukan orang yang mempunyai prestasi. Guru adalah ibu kedua bagiku. Tempat aku berdialog dan tempat aku bersosialisasi.
“Wayo!! Kamu sedang mikiri apa?” Ika menepuk pundaku sambil mengagetkan aku.
“Apaan sih, kaget tahu.” Jawabku yang penuh dengan kekesalan.
“Oh iya, kamu tahu tidak. Sebentar lagi sekolah kita akan memperingati hari guru. Kalau boleh tahu guru Favorit kamu siapa?”
Tetttt.. tettt.. tett Bel tanda masuk berbunyi. Aku tidak sempat menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ika tadi. Aku langsung bergegas masuk, karena pelajaran akan dimulai. Saat aku mengingat semua jasa guru. Aku teringat dengan sosok guru yang memotivasi hidupku. Guru itu bernama Ibu Sity. Tetapi ia lebih suka dipanggil Bunda.
“Assalamualaikum anak-anak.” Ibu Sity menyambut semua siswanya dengan ucapan dan senyuman.
“Waalaikumsalam Bunda.” Jawaban yang diucapkan oleh semua siswa dengan semangat.
Ibu Sity adalah guru yang selalu dinanti-nanti kehadirannya. Banyak motivasi yang selalu ia sampaikan. Motivasi itu yang sangat berguna sekali bagiku dan teman-temanku semua. Kadang aku berpikir apa motivasi hidupku di masa depan. “Apakah aku bisa menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang banyak?” Namun ketika aku mengingat kata-kata Ibu Sity. Aku belajar untuk mengintropeksi diriku. “Orang yang dikatakan fisiknya tidak sempurna saja bisa menjadi orang yang sukses dan tidak pantang menyerah. Kenapa aku yang dikatakan sempurna tidak mau berusaha dan berdoa. Hanya bisa menyerah dengan keadaan.
Aku mencoba merenungi semua kata-kata yang dilontarkan Ibu Sity. Hingga terbawa aku ke dalam lamunan yang tidak tahu akhirnya.
“Raa..Ra..araaa” Ika memanggilku berkali-berkali dengan nada yang mulai kesal.
Aku bergegas melihatnya sambil berkata. “Ada apa Ika? Kenapa teriak-teriak begitu?”
“Aku memanggil kamu sedari tadi. Kamu belum menjawab pertanyaanku Ra!! Siapa guru Favorit kamu?” Ika masih penasaran dengan jawabanku.
“Guru Favorit aku Ibu Sity, Ika.”
“Dia baik iya Ra..”
“Tentu. Ibu Sity selalu memotivasi hidupku. Membuatku mengerti kenapa ilmu sangat berguna sekali di masa depan.” Aku menatap Ika dengan senyuman.
Guru itu ibarat lilin. Ia rela terbakar, demi menerangi masa depan anak muridnya. Dan guru mempunyai 1001 cara agar siswanya kelak menjadi orang yang berguna bagi Nusa dan Bangsa. Walaupun sudah lelah, guru tidak pernah memperlihatkannya kepada siswa-siswanya. Karena ia tidak ingin siswanya menjadi orang yang selalu menyerah. Peran guru sangatlah penting bagi Pendidikan. Guru tidak pernah meminta imbalan sedikit pun dari siswanya, meski ia sudah mengajar berpuluh-puluh tahun.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-pendidikan/guru-ku-motivasi-hidup-ku.html

Tahajud Nenek Aisha

Tahajud Nenek Aisha



“Labbaik Allahuma Labbaik. Labbaik Laa Syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak.”
Itulah ucapan talbiyah yang ingin nenek Sumtiantuti ucapkan di tanah suci Mekkah pada saat menjalankan rukun islam yang kelima. Nenek yang berumur setengah abad lebih 10 tahun ini telah berpuluh tahun lamanya ingin menunaikan ibadah haji. Nenek yang lebih sering disapa nenek Aisha dengan warga sekitar karena ia memiliki cucu bernama Aisha. Ia pun harus lebih sabar menunggu kapan ia bisa menjalankan rukun islam yang kelima itu.
Cucunya yang masih berumur 6 tahun pun harus masih ditanggungnya lantaran kedua orangtuanya sudah menghadap sang kuasa lantaran kecelakaan tragis yang menimpanya. Entah cuaca yang begitu terik maupun hujan ia setiap hari keliling kampung menjajakkan jamu buatannya sendiri, tak kalah punggungnya terkadang sakit di malam hari. Kulit keriputnya, matanya yang sayup, tubuhnya yang begitu kurus dan badannya membungkuk begitulah kira-kira keadaannya. Baginya, hanya Aishalah sang penyemangatnya, lentera baginya. Tiada suami dan anak kini cucu semata wayangnyalah teman masa tuanya, harapan satu-satunya baginya.
“Nenek, Nenek selama ini Aisha lihat sering memasukkan uang ke celengan ayam. Nenek menabung ya?” tanya Aisha suatu malam di ruang tamu.
“Iya, Nenek menabung sayang.”
“Apakah uangnya sudah banyak?”
“Tidak tahu, Nenek belum menghitungnya.”
“Lalu, untuk apa uang itu Nek?” Aisha pun terus bertanya.
“Untuk naik haji.” sambil tersenyum kecil.
“Naik haji? Naik haji itu apa Nek?”
“Sudahlah, kita tidur saja ini sudah larut malam.”
“Tidak, lebih baik kita hitung saja uang di celengan ayam itu Nek.”
Nenek Aisha pun terdiam sejenak, lalu ia mengangguk. Ia pun menghitung uang tersebut bersama Aisha.
“Semuanya 10 juta Nek. Apakah 10 juta sudah cukup Nek?”
“Tidak Aisha, ini belum cukup. Nenek masih butuh banyak uang untuk pergi haji.”

Mentari telah menyapa dunia, pagi ini nenek Aisha tidak keliling kampung menjajakkan jamunya karena ia sedang sakit. Entah sudah berapa kali Aisha menangis dan kini matanya sembab, ia menangis lantaran neneknya sakit ia bersikeras tidak mau sekolah.
“Kenapa Aisha tak mau sekolah?” sambil berbaring di tempat tidur.
“Aisha mau ngerawat Nenek.”
“Tidak perlu, sana pergi ke sekolah. Nenek tidak apa-apa.”
“Tidak mau Nenek.”
Nenek Aisha pun tidak bisa memaksa Aisha. Dengan penuh kasih sayang Aisha mengompres neneknya, memberi neneknya obat warung, memberinya makan walaupun hanya dengan garam karena ia belum bisa memasak. Tidak heran tapi jika neneknya ia beri makan nasi dan garam saja, hampir tiap hari Aisha dan neneknya hanya makan itu. Memang miris, tetapi inilah takdir semuanya sudah ada yang membuat skenarionya yaitu sang kuasa. Langit telah berganti malam. Tengah malam yang begitu sunyi hanya ditemani suara jangkrik, nenek Aisha tebangun dari tidurnya. Entah apa yang membuatnya seperti ini ia kemudian mengucapkan ucapan talbiyah, lebih dari satu kali ia ucapkan sambil berbaring terus ia ucapkan. Lalu ia pergi mengambil wudhu dan menjalankan tahajud.
Aisha mengalami perasaan gundah dan gelisah kemudian ia beranjak dari tempat tidurnya dan ia melihat neneknya yang sedang sujud. “Nenek salat?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia pun mendekati neneknya yang sedang salat, tiba-tiba ia merasa ada yang aneh. Dan sontak Aisha pun terkejut. Inilah tahajud nenek Aisha yang terakhir dalam hidupnya.
Cerpen Karangan: Yuni Lestari

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/tahajud-nenek-aisha.html

Senin, 22 Februari 2016

Cinta Dalam Melodi

Cinta Dalam Melodi




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 14 June 2013

Di sini tempat ku berdiri.. Agar aku dapat melihat senyum manis dari bibirmu, dan di sini tempat ku bersembunyi, agar kau tak pernah menyadari tentang hadirku di sini. Karena aku tau, hadirku akan membawa mu dalam tangis, dan akan menghanguskan kebahagiaanmu bersamanya. Dan ku yakinkan diriku untuk dapat tersenyum untukmu dapat bersamanya.
Dulu, aku sadari bahwa kehadiranmu di hidupku hanyalah pelampiasan sesaat mu, saat kau tak bersamanya. Aku pun menyadari semuanya.. Kata-kata mu yang kini ku jadikan memori terindah dalam hidupku tak lebih dari satu jurang yang kini mengurungku.
Kau tak akan pernah menyadari tentang ini. Karena aku akan diam, meski kau lah pencipta luka terhebat dalam hidupku. Aku pun menyadari aku belum bisa melepas bayangmu dari hati dan fikiranku. Aku membenci satu hal dalam hidupku, yaitu karena aku harus mencintaimu.
Sesekali aku mencoba melupakanmu, tapi dunia ini menakdirkan hal lain untuk ku. Bukan ku dapat memilikimu lagi, tapi karenanya aku harus selalu mengingatmu. Segala hal yang ada di dunia ini.. Selalu dan selalu tertuju padamu.
“kau lah cahaya dalam hidupku, kau berikan terangmu diantaranya. Aku sadar aku gak akan pernah bisa di antaramu karena kau ada jauh di sana. Dan aku hanya bisa melihatmu dari jauh. Terkadang aku menginginkan turunnya hujan pada setiap malam, karena hujan lah yang dapat menutupmu. Tapi hatiku ini selalu menginginkan cerahnya langit pada setiap malamku agar aku selalu dapat melihat cahayamu da mengingat luka terperih dalam hidupku”.
Meski kini ku telah bersamanya yang tak berarti di hatiku. Namun dia yang berarti di hidupku. Aku pun tak mengerti dengan diriku kini, apa ku menyakitinya.. Atau aku juga hanya menjadikan dia pelampiasan di hidupku. Satu yang ku tau.. Aku akan selalu mengenangmu meski itu membutuhkan beribu tetes air mata yang akan jatuh dengan percuma.
Sekarang… Apa aku harus menunggumu, atau melupakanmu..
Ku tunggu waktu yang akan menjawabnya. Tapi ku harap kebahagiaanku akan datang tanpa orang yang pernah menyakiti hati ku.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/cinta-dalam-melodi.html

Siti Nurbaya Hidup Lagi

Siti Nurbaya Hidup Lagi




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 29 September 2013

40 tahun yang lalu, ada gadis bernama Siti. Nama panjangnya Marsiti. Satu kata saja. Menurutnya, dia rupawan. Dan itu memang benar. Dia kembang desa. Banyak orang terpesona dengan wajahnya yang cantik jelita. Usianya 15 tahun. Dia baru lulus dari SMP. Tidak banyak anak bisa sekolah seperti dia, apalagi untuk anak gadis. Kebanyakan gadis di kampungnya lulus dari SD bahkan belum lulus SD sudah menikah. Memangnya mau apa kalau tidak menikah? Sekolah, tidak. Bekerja pun tidak. Paling membantu Ibu memasak di dapur atau ngerangsum – mengirim makanan – Bapak ke sawah. Jadi menikah usia muda di waktu 40 tahun yang lalu adalah pilihan utama. Meringankan beban orang tua dengan mengabdikan diri menjadi isteri sholihah.
Tapi tidak dengan pemikiran Siti. Darah Kartini mengalir dalam nadinya. Dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Bercita-cita mulia untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi seorang guru adalah tujuannya. Namun dia merasa jalannya tidak mudah. Karena malam itu, keluarganya kedatangan seorang tamu.
“Kalau saya setuju-setuju saja, Pak.” Bapaknya mengangguk mendengar jawaban Ibunya.
“Jadi bisa langsung diresmikan nggeh, Bu? Nanti saya datang lagi untuk melamar.” Tegas lelaki yang duduk di hadapan Bapak dan Ibunya.
Siti mencuri dengar pembicaraan dari lubang kunci pintu kamarnya. Dilihatnya orang yang menjadi tamu penting Bapak Ibunya. Rambut putih telah tumbuh di kepala. Beberapa kumisnya pun telah memutih. Pakaiannya rapi. Jam tangan bertengger di tangan kiri. Mobil sedan merah dengan seorang supir yang mengantarnya singgah di rumah Siti. Siti menyimpulkan dia orang kaya raya. Penampilannya tidak seperti lelaki desa pada umumnya. Namun tetaplah Siti tidak terima jika lelaki seperti itu yang Ibu dan Bapaknya pilihkan sebagai suami. Dia terlalu tua. Siti kecewa. Sangat kecewa. Siti tak habis pikir, betapa tega Bapak dan Ibunya menjual dirinya hanya demi harta.
Sudah saatnya siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru) mulai masuk sekolah. Letak sekolahnya di kota. Siti lulus tes masuk di sekolah negeri itu. Namun Siti tidak beranjak satu langkah pun dari kampungnya. Bapak dan Ibunya tidak mengizinkan Siti melanjutkan sekolah sesuai keinginan Siti. Dia hanya di rumah menganggur. Kabar yang sampai di telinga Siti, dia telah dilamar oleh seseorang tanpa sepengetahuannya. Dia telah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Tentu saja Siti berontak. Dia tak mau menikah dengan siapapun pada waktu itu. Dia ingin mengejar cita-citanya.
“Aku akan merantau ke Jakarta. Aku cantik. Pasti banyak orang yang mau mengangkatku menjadi anak. Kalau tidak, aku akan bekerja sebagai pembantu atau apapun. Cari uang untuk bisa sekolah.” Demikian kata yang selalu Siti ucapkan kepada setiap orang yang dia jumpai.
Mulai dari tetangga sebelah rumah, ibu-ibu arisan, orang matun – menanam padi -, pegawai kecamatan rekan kerja Bapaknya Siti, sampai mlijo – penjaja sayur – yang biasa lewat depan rumah, mengetahui cerita malang Siti. Siti yang ditunangkan dengan seseorang yang tidak dia suka dan Siti yang berniat untuk kabur dari rumah.
Sudah jauh-jauh hari sebelumnya Siti berencana mengendap-ngendap di kegelapan malam dan pergi entah kemana kakinya akan melangkah. Beberapa hari Siti mengumpulkan kenekatan dalam dirinya. Dan dia telah siap. Baju dan kebutuhan lain telah dia masukkan ke dalam tas sekolah. Satu jam lagi. Dia menunggu jarum jam pendek berhenti pas di angka 10 dan jarum jam panjang mendekati 12. Di jam itu biasanya lampu sudah dipadamkan dan penghuni rumah terlelap dalam tidur.
09.30 pm
“Siti…” Panggil Bapaknya
“Aduh.” Gumam Siti lirih. Spontan telapak tangan Siti memukul kepalanya sendiri mendengar seruan itu.
“Sini, Nak…” Bapaknya mengulang panggilannya karena tidak mendengar respon apapun dari Siti.
‘Apa ketahuan yah..’ pikir Siti. Siti bukanlah anak yang biasa mengabaikan perkataan Bapaknya. Diletakkan tas berat yang sedari tadi ditentengnya. Lalu dia mendatangi sumber suara itu.
“Iya, Pak…” Siti melihat kedua orang tuanya duduk bersebelahan.
“Duduklah!” Perintah Bapaknya.
Siti duduk sambil menggenggam erat jemarinya. Dia panik. Dia didudukkan seperti ini berarti akan diinterogasi dan dihakimi. Siti takut orang tuanya akan sangat marah. Lebih parah lagi kalau Siti diusir sebelum sempat dia kabur dari rumah. Tentu akan beda kesannya, jika dia pergi dari rumah dengan alasan kabur atau diusir.
“Besok Siti sudah bisa melanjutkan sekolah.” Kata-kata Bapaknya membuat Siti kaget dan langsung mendongakkan kepala.
“Kenapa-tiba-tiba-Bapak…” Siti berkata terbata-bata.
“Siti.. Harimau saja tidak memakan anaknya sendiri, apalagi Bapak dan Ibu. Mana mungkin Bapak mengorbankan kebahagiaan Siti hanya untuk kesenangan Bapak atau Ibu. Kalau Siti tidak setuju dengan perjodohan itu, tak apa, Bapak tidak memaksa. Bapak sudah mengurus semua keperluan sekolah Siti. Belajarlah yang rajin, raih cita-citamu, Nak..” Dengan berwibawa Bapaknya menyampaikan maksudnya tanpa ada garis kemarahan sedikit pun di wajah. Berbeda 180 derajat dari perkiraan Siti.
Sore hari itu Siti membersihkan rumah. Sudut ruangan, kolong meja. kolong kasur, tak ada debu yang terlewat dari sapuan Siti. Tak lupa, Siti pun membereskan meja kerja Bapaknya. Siti amankan dokumen-dokumen penting ke dalam laci agar tidak hilang atau tertiup angin. Sampai mata Siti tiba di kertas putih yang digulung dan diikat dengan sehelai pita merah. Penasaran, Siti membukanya.
… Mohon maaf, mengenai perjodohan, saya dengar anak Bapak tidak setuju. Saya bermaksud membatalkannya. Mungkin belum berjodoh. Saya tidak mau menghidupkan Siti Nurbaya ke dunia lagi…
Begitulah sepenggal kata yang terekam dalam ingatan Siti sampai sekarang. Surat itu tertanggal 3 hari sebelum Bapaknya mengizinkan Siti sekolah lagi. Pastilah itu dari pak tua yang pernah datang melamar Siti.
Selanjutnya, hari-hari Siti jalani tanpa ada kata perjodohan. Setelah menuntaskan pendidikannya, Siti ditugaskan mengajar SMA di daerah terpencil. Jauh dari rumah dan sanak saudara. Hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya.
Siti merasa ini hanya kebetulan semata, namun sebenarnya kitab takdir telah mencatat sebelum Siti terlahir ke dunia. Disana Siti mengenal polisi tampan yang senasib dengannya. Panggilannya Pak Sugi. Nama panjangnya Sugiantoro. Satu kata saja. Dia dinas di daerah terpencil itu juga. Jauh dari rumah dan sanak saudara. Hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya. Disanalah, di desa yang lebih desa dari desanya Siti, di kampung yang lebih kampung dari kampungnya Siti, takdir cinta mengikat hati keduanya.
Betapa terkejutnya Siti menjumpai lagi lelaki yang dulu dia panggil dengan sebutan pak tua. Dia orang yang dulu pernah Siti tolak lamarannya. Ternyata dulu pak tua melamar Siti untuk anaknya yang masih menjalani pendidikan kepolisian, dia adalah Sugi. Pak tua itu kini menjadi mertua. Yah, kitab yang mengatur perjodohan telah mengatur semuanya. Entah melalui perjodohan atau perkenalan, bagaimanapun jalannya, takdir telah menulis Sugi sebagai jodoh Siti dan melancarkan prosesnya hingga ke pelaminan. Mereka pun hidup bahagia hingga sekarang…

Aku duduk tertunduk sambil meremas jemariku. Bukan panik karena akan dimarahi, tapi mungkin karena grogi. Keluargaku kedatangan tamu. Tamu itu kini menunggu keputusanku. Aku mendongakkan kepala dan mengangguk malu, menandakan bahwa ‘iya’ adalah jawabanku.
Pendidikan kedokteranku telah selesai. Mereka berjanji mendukung dan mengizinkanku melanjutkan tugas pengabdian. Aku bukan anak kecil lagi. Melaui istikharah kuminta petunjuk dan kemantapan hati kepada Sang Pengasih. Kisah Siti yang diceritakan oleh Mama semalam juga memberiku sedikit pencerahan. Tak ada salahnya jika aku menerima perjodohan.
Kulirik Siti dan Sugi yang kini menjadi Mama dan Papaku. Mereka tersenyum. Kulihat lelaki di hadapanku yang hari ini pertama kalinya kita bertatap muka. Dia juga tersenyum. Dan rasanya aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Kulirik pasutri bakal mertuaku. Semuanya tersenyum. Aku bukan Siti Nurbaya yang hidup lagi. Lain. Ini adalah cerita perjodohan yang berakhir bahagia..

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/siti-nurbaya-hidup-lagi.html

Move

Move




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 10 October 2015

“cek.. cek.. satu dua tiga..” cek sound yang sedang dilakukan oleh Andri dengan band-nya yang tak lama lagi akan tampil dalam sebuah acara apresiasi seni di sekolahku. Terlihat ia yang berdiri sambil memegangi mikrofon yang akan dia pakai ketika tampil nanti. Sangat tampan dengan memakai kemeja panjang berwarna merah dengan menutupi kepalanya oleh topi berwarna selaras. Aku terus memandanginya. Sedang asyik memandangi wajah tampannya, pandanganku berlalu ketika seseorang memanggilku dari arah belakang.
“Ditaa…” panggilnya sambil melambaikan tangan.
Rio. Kakak kelasku yang berperan menjadi pacarku saat ini. Hampir setengah tahun aku dan Rio menjalin hubungan. Namun, tetap saja jantung ini hanya berdetak kencang ketika aku melihat Andri, vokalis band di sekolahku.
“kamu ngapain di sini? Aku cari-cari dari tadi,” ucapnya dengan napas yang sedikit ngos-ngosan.
“maaf, aku mau lihat acara apresiasi seni sekolah kita.”
“acaranya kan belum dimulai, band-nya Andri aja lagi cek sound, kamu ngapain di sini? Mau neglihatin Andri?” tanyanya yang mulai diselimuti oleh rasa cemburu.
“nggak kok.. nggak gitu maksud aku..” jawabku dengan terbata-bata.
“apa sih? Kamu aja jawabnya kaya gitu! kamu kamu kapan sih bisa move on dari dia? Kita udah hampir setengah tahun sama-sama, tapi kamu belum juga bisa move on dari dia. Apa sih yang buat kamu jadi kaya gini?! Haah?!!” ledakan emosi yang tersirat dari bibir Rio.
Kini Rio semakin cemburu, sangat terlihat dia sudah lelah dengan tingkah yang seperti ini. Aku sadar, bisa dibilang aku ini egois. Tak pernah mempedulikan bagaimana perasaan Rio saat itu. Namun, ku pikir lagi aku bukannya egois. Namun, aku sendiri tak mengerti dengan apa yang sedang ku rasakan saat ini. Rio pergi meninggalkan aku dari aula setelah ia memarahiku tadi. Kini aku termenung. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku sudah berulangkali mencoba untuk melupakan Andri, namun bayang-bayang Andri terus menghantuiku.
Termenung dan terus terdiam ketika semua orang bersorak sorai melihat acara itu. Saat ini aku masih berpikir. Apa yang harus aku lakukan jika telah seperti ini. Mungkin hal ini belum seberapa dibandingkan dengan kelak jika Rio benar-benar lelah dan pergi meninggalkan aku. Banyak masukan yang ku dapat dari teman-temanku.
“udah taa.. kalau emang kamu gak bisa move on dari Andri, kalian pisah aja, dari pada terus-terusan nyakitin Rio yang jelas-jelas sayang dan selalu ada buat kamu..” ujar Yasmin ketika melihat aku sedang termenung.
“asal ngomong aja kamu yas.. jangan taa, coba kamu bayangin kalau kamu mutusin Rio. Dia pasti kecewa banget sama kamu, dia bakal sakit hati banget. Sejauh ini kamu emang udah nyakitin dia, tapi dengan cara mutusin apa ngga lebih nyakitin lagi? kalau emang kamu sayang sama Rio kamu bisa kok lupai Andri. Aku yakin, saat ini memang susah, karena kan kalian masih sering ketemu, lagian juga kamu sendiri yang bilang kan kalau kamu butuh waktu 2 tahun untuk bisa move on dari seseorang. Semuanya butuh proses, kamu bisa lewatin ini kok taa.. semangat yaa!!” ucap Michael yang tidak setuju dengan masukan Yasmin kepadaku.
Setelahnya, aku terus termenung dan berpikir. Mempertimbangkan keputusan mana yang harus aku ambil. Yang diucapkan oleh Yasmin memang benar. Jika dipertahankan belum tentu aku bisa sepenunya move on dari Andri, tapi dengan cara memutuskan hubungan itu adalah keputusan yang konyol dan sangat kekaknak-kanakan. Sementara sangat benar dengan apa yang diucapkan Michael. Selama ini aku sudah sering menyakiti hatinya. Aku harus menjadi manusia yang adil. Mungkin dengan terus bersamanya itu membuat aku merasa membohongi hati kecilku sendiri. Namun, di sisi lain, aku dapat membahagiakan Rio, orang yang menyayangiku dan selalu ada untukku.
Kini aku memutuskan untuk bertahan demi orang yang menyayangiku. Tak peduli membohongi hati kecilku sendiri pun. Karena aku yakin. Dengan terus bersamanya, aku akan bisa melupakan Andri, yang aku sendiri tak tahu bagaimana perasaannya terhadap aku. Meski itu menghabiskan waktu yang cukup lama, aku yakin bahwa aku bisa melupakan Andri dan berbahagia dengan Rio.
“oke.. makasih teman-teman atas masukannya. Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku ambil masukan dari kamu chael, terima kasih yaa.. dan ku mohon, bantu aku agar aku dapat melupakan Andri, dan menjadikan semua yang telah aku lakukan bersamanya selama ini hanya sekedar kenangan biasa. Mulai sekarang aku akan berusaha belajar untuk menyayangi Rio dan menghargai apa yang telah Rio berikan kepadaku.” Dengan yakin ku berucap.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/move.html

Sunrise on Sunday

Sunrise on Sunday




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 28 April 2013

Setiap minggu aku selalu duduk di sebuah saung yang terletak di tepi pantai. Aku selalu berangkat jam lima dari rumah hanya untuk melihat matahari terbit. Selain melihat matahari terbit, aku juga ingin melihat matahari terbitku yang kedua. Yaitu seorang cowok tampan yang selalu lari pagi di tepi pantai. Diam-diam aku sering mengamati cowok misterius itu. Aku suka melihat wajahnya yang terkena biasan matahari pagi.
Dia kembali datang. Lari pagi dengan santai di tepi pantai. Wajahnya benar-benar indah ketika matahari terbit menyinarinya dari belakang. Dia tidak pernah berlari sampai depan saung. Dia selalu kembali berlari ke timur dan menghilang. Begitulah ritual paginya. Aku suka melihat matahari terbit sedangkan cowok misterius itu hobi berlari di tepi pantai.
Keesokan harinya di sekolah. Aku selalu menceritakannya pada Alfa. Alfa adalah sahabatku sejak kecil. Ke mana-mana kami selalu bersama, hingga kami mendapat sebutan “si kembar tapi beda”. Biasanya pada hari senin, aku selalu mendapat sekuntum bunga matahari di mejaku. Dan aku tahu bunga itu merupakan pemberian Alfa. “kamu suka sama berapa cowok sih?” ucap Alfa. Aku sedikit meringis mendengar ucapannya.
Alfa tahu kalau aku sedang menyukai Fado sekarang. Cowok tampan pemain basket terkenal di sekolahku. Sejak kelas satu SMA aku menyukai cowok keren itu. “aku nggak bilang kalo aku suka sama si matahari terbit itu, Al. Aku cuma bilang kalo aku penasaran sama dia.” Jelasku pada Alfa. Kami duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen di halaman sekolah. “lagian kamu cuma janji ter…” kata-kataku mengambang begitu kulihat wajah Alfa yang terkena biasan matahari dari belakangnya. Bentuk wajah itu…
“janji apa?” tanya Alfa menyadarkanku. Aku sedikit salah tingkah. Aku mulai curiga pada Alfa dan tidak konsen dengan apa yang aku bicarakan. Jangan-jangan cowok yang di pantai itu Alfa?. Batinku. “janji apa, ndah?” Alfa mengulangi pertanyaannya. Namun, aku sudah terlanjur larut dalam pikiranku. Akhirnya aku mencoba menghindari Alfa. “Al, aku ke kelas dulu ya.” Ucapku lalu pergi meninggalkan Alfa.
Minggu selanjutnya aku kembali pergi ke saung pagi-pagi buta. Hubunganku dengan Alfa semakin kacau. Aku mulai sering memikirkan cowok itu. Aku sangat mempercayai Alfa sebagai sahabat dan aku tidak ingin Alfa menyukaiku, atau ingin menganggapku lebih. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut jika Alfa menyukaiku.
Matahari mulai terlihat malu-malu muncul dari ufuk timur. Dan cowok itu kembali datang. Dia berlari ke arah barat dan tak lama kemudian dia membalikkan tubuhnya lalu putar arah kembali ke timur. Cowok itu tidak kembali lagi setelah berlari ke timur. Hal itu semakin membuatku yakin bahwa dia adalah Alfa. Karena satu-satunya cowok yang tahu kalau aku sering datang ke sini adalah Alfa.
Aku semakin penasaran. Kali ini kucoba memberanikan diri untuk mengikuti cowok itu. Cowok itu terus berlari dan aku mengikutinya diam-diam bagaikan penguntit. Ketika tiba di garis pantai yang berkelok dan dibatasi tebing pegunungan, aku semakin mempercepat lariku agar tak kehilangan jejak. Aku berhasil mengikutinya. Dia terus berlari menjauhi pantai dan memasuki hutan kecil di sana. Aku sedikit khawatir. Walaupun jarakku dengan cowok misterius itu terbentang jauh. Tapi kekhawatiranku tak dapat kututupi.
Hutan kecil itu tembus pada jalan raya. Aku mulai tenang dan terus mengikutinya. Tiba-tiba dia memasuki sebuah rumah yang mempunyai gerbang besar dengan pagar cokelat emas. Lama aku hanya menatap rumah itu. Sepertinya aku mengenali rumah itu. Aku menatap jalan raya yang aku pijaki. Aku sadar jalan raya ini adalah jalan menuju ke rumah Alfa. Dan rumah berpagar cokelat emas itu adalah rumah Alfa. Dugaanku benar. Cowok misterius itu adalah Alfa. Dan jangan-jangan Alfa tahu kalau aku mengikutinya sejak tadi?
Alfa memang cowok manis dengan kulit lumayan putih, wajahnya bersih. Namun, aku tidak mungkin menyukai sahabatku sendiri. Apalagi dia adalah sahabat kecilku.
Semenjak kejadian itu hubunganku dengan Alfa semakin renggang. Aku selalu menjahuinya tanpa alasan. Sedangkan Alfa selalu mengejarku dengan beribu pertanyaan yang sama. “Indah!” panggilnya dengan langkah-langkah cepat. Namun aku tak menghiraukannya. Aku terus melangkah ke kantin.
“kamu kenapa sih kok jadi aneh gini?” tanya Alfa. “aneh gimana?” balasku dengan nada ketus. “kamu ngejauhin aku. Ada apa? Aku salah?” tanyanya. Aku mencoba menatap Alfa tajam. “cowok di pantai itu kamu kan?” ucapku sedikit membentak. Mata Alfa membulat lebar. “cowok pantai?” katanya sedikit mengangkat sebeah alisnya. “aku nggak pernah ke pantai minggu pagi. Aku selalu tidur. Kenapa kamu bisa ngira kalo cowok itu aku?” “aku sudah mengikutinya kemaren. Dan cowok itu masuk ke rumahmu!” jelasku penuh emosi dan meninggalkan Alfa. “tapi dia bukan aku, Ndah!” teriaknya dan aku tak mengubrisnya.
Minggu pagi, aku kembali mendatangi saung untuk melihat sang mentari terbit. Tiba-tiba HP-ku bergetar. ada satu pesan masuk. Dari Alfa. Kubuka pesan itu dan kubaca.
“cowok matahari terbitmu itu bukan aku, Indah. Dia itu saudara sepupuku sendiri. Dan kamu tahu orangnya, tapi dia bukan aku. Sorry, selama ini aku merahasiakannya darimu. Tapi aku sekarang sudah jujur. Jadi aku pikir kita bisa baikan lagi.”
Sengaja aku tak membalas pesan dari Alfa. Karena aku yakin itu pasti cuma alasan cowok itu. Yang kutahu, Alfa tidak pernah mempunyai saudara sepupu. Aku sering ke rumahnya. Tapi tak seorangpun yang pernah muncul di sana. Hanya Alfa. Dia sahabat kecilku. Dan aku pasti akan tahu kalau dia punya saudara sepupu.
Perlahan matahari mulai menampakkan dirinya. Menyinari laut biru dan menyelimuti laut itu dengan warna merah keemasan. Aku menyukai warna itu. Lalu bersamaan dengan terbitnya matahari, seorang cowok kembali datang dan berlari-lari kecil mengikuti garis pantai. seketika emosiku kembali buncah, aku beranjak dari saung dan menghampiri cowok itu dengan langkah-langkah cepat.
Begitu tiba di dekatnya aku beridiri berkacak pinggang. “Alfa!” teriakku dengan suara lantang. Seketika cowok itu berhenti dan menoleh padaku. Wajahnya terlihat gelap karena biasan matahari. Dia menghampiriku. Aku juga menghampirinya. Dan begitu tiba tepat di hadapan cowok itu. Aku terperangah dan kaget. Cowok matahari terbit itu bukanlah Alfa. Melainkan Fado. Cowok yang selama ini aku suka.
“hai!” sapanya santai. Aku mencoba tersenyum dan sedikit salah tingkah. “emm… maaf, aku pikir kamu Alfa.” “aku tahu, kamu ngejauhin Alfa cuma gara-gara aku kan?” aku hanya diam. “aku sepupunya Alfa. Sebenarnya dari dulu aku sering melihat kamu di saung. Aku sering ngasi bunga matahari melalui Alfa. Tapi aku minta Alfa agar merahasiakannya. Maaf ya.” Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
Aku masih terperangah mendengar penjelasannya. Dan kenapa Alfa tidak pernah bilang kalau Fado adalah saudara sepupunya. Dasar Alfa, dia memang sahabat yang baik. Maafkan aku ya, Al. Batinku. Ternyata matahari terbitku yang misterius adalah orang yang selama ini ku suka.
Cerpen Karangan: Ulfa Nurul Hidayah

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/sunrise-on-sunday.html

Jalan Untuk Kembali

Jalan Untuk Kembali




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 31 October 2015

Bintang-bintang di galaksi kian redup. Sang venus mulai terlihat jelas. Jauh di ufuk timur sana. Tapi, siapa yang tahu luka ini. Seredup bintang itukah kalutnya perasaanku. Semerah Venus-kah goresan lukaku. Sejauh itukah jarak di antara kita? Tapi, bisakah kau ajariku. Melebur dalam gelap. Tanpa harus lenyap. Seperti kepergianmu. Yang lebur dalam gelapnya emosi. Tapi tak lenyap dari ilusi.
Kembali ku termenung di atas kasarnya batu karang di bawah merahnya goresan awan senja di ujung sana. Ku rasakan hempasan semilir angin pantai yang cukup sejuk. Lagi-lagi otakku bermain-main dengan drama khayalan yang aku buat. Hampir setiap waktu drama-drama itu terputar otomatis pada cakrawala ingatanku. Hati ini beku. Entah apa dan siapa yang bisa menghangatkan hati dan perasaanku saat ini. Tanpa sadar suara binatang malam telah melakukan canon untuk menyambut tergelincirnya matahari. Aku berjalan gontai menjauh dari tepi pantai. Sesekai kaki kecilku ini menendangi batu-batu kecil di dekatku.
“Hey! Minggir!” aku mendengar suara orang berteriak ke arahku. Hei, sepeda itu kenapa melaju cepat sekali. Ahh, tidakk! Tiba-tiba saja, “BRUKKK…” aku rasakan perih yang menjalar di sekitar lututku. Berasa dingin seperti ada sesuatu yang mengalir. Darah. Ternyata lumayan keras juga sepeda itu menghantam kakiku.
“Aduh, gimana ini. Ikut aku ke pos yuk, biar aku obatin,” ajaknya dengan ramah. Namun terihat segaris wajah cemas dan panik di sana. Dia memapahku menuju pos di ujung pantai. Kakiku yang yang berdarah tadi sekarang berubah menjadi putih, dibalut oleh perban yang luar biasa tebal. Maklum, pria itu sendiri yang membalut lukaku ini. Jadi hanya asal potong.
“Aduh, maaf ya. Gara-gara rem sepedaku blong kaki kamu jadi kayak gini deh. Aku tadi hilang kendali,” ucap pria itu sembari membersihkan luka di lututku.
“Iya, nggak apa-apa kok. Aku juga tadi jalan sambil ngelamun. Tiba-tiba aja ‘brukk’ kakiku terasa sakit,” tuturku sambil tertawa geli mengingat kejadian tadi.
“Hahaha. Emm, oh iya. Kenalin aku Rafa. Aku di sini ngekos aja. Bukan penduduk asli. Nama kamu siapa?” akhirnya aku tahu juga siapa nama laki-laki itu.
Rafa. Orang itu mirip sekali dengan orang yang sering bermain di drama miniku. Sosok orang yang sempat hadir di masa lalu, Bima. Sekilas wajah Rafa dan Bima memang mirip. Eh, tapi? Mirip banget malah. Apa mungkin mereka berdua saudara kembar? Mana mungkin. Dulu Bima tidak pernah bilang kalau dia punya saudara kembar.
“Aku Raunny, aku di sini juga ngekos. Kos-kosanku juga nggak jauh dari sini. Makanya hampir tiap sore aku dateng ke pantai,” aku menjelaskan secara singkat kebiasaan harianku.
Di beranda pos ini aku mengobrol lumayan lama dengan Rafa. Suara adzan Maghrib dari masjid di seberang jalan sana sayup-sayup mulai terdengar. Aku memutuskan untuk kembali ke kos-kosanku. Tapi Rafa bersikeras mengantarku pulang, padahal aku sudah menolaknya. Kini hampir tiap senja aku mengunjungi pantai bersama Rafa. Orang itu sungguh mengantarkanku pada ingatan silam bersama orang terindah di masa lalu. Bibirku kembali smiled down ketika aku mengingat Bima. Seseorang yang pergi meninggalkanku tanpa alasan. Dan sekarang dia seperti hilang ditelan bumi. Aku tak tahu bagaimana kabar dia sekarang.
Sikap Rafa lembut, sama seperti sikap Bima dahulu. Canda tawanya, senyumannya, tingkah lakunya. Bahkan, wajahnya pun mirip. Sumpah, semua itu sama persis dengan apa yang ada pada Bima. Ya Allah, kenapa engkau hadirkan seeorang yang mirip dengan Bima. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya sedangkan orang yang ada di dekatku saat ini sangat mirip dengan dia.
“Raunny, kamu kenapa? Kok kayaknya kamu sedih gitu sih?” aku lihat wajah heran Rafa yang terukir jelas di raut mukanya.
“Nggak, apa-apa kok Rafa. Cuma lagi inget seseorang aja,” Aku kembali tersenyum saat hati ini berkoar ingin menangis. Sungguh, aku tidak sanggup.
“Ceritain aja ke aku, maybe aku bisa bantuin kamu,”
Mungkin aku bisa berbagi cerita sama Rafa. Siapa tahu dia bisa kasih aku solusi dari kalutnya hatiku saat ini.
“Kamu ngingetin aku sama seseorang. Dulu orang itu sempat jadi yang terindah di kehidupanku. Sudah hampir lima tahun orang itu lenyap dari kehidupanku. Entah bagaimana kabarnya. Dia seperti hilang ditelan bumi,” aku mencoba menuturkan apa yang sesungguhnya sedang terjadi padaku. Bibir ini bergetar saat aku terang-terangan menyebut kenangan masa laluku bersama Bima. Aku menangis. Air mata ini mengalir mengikuti relief pipiku.
“Kamu masih sayang sama orang itu ya?” Rafa malah balik bertanya.
“Iya, Raf. Aku masih sayang banget sama dia. Dulu, orang itu pergi tanpa alasan. Ngilang gitu aja, pergi ninggalin aku seolah-olah dia tidak bersalah. Aku sendiri bingung, dia udah nyakitin aku gitu, tapi hati ini tetap berontak buat terus nungguin dia, terus sayang sama dia. Padahal aku sendiri tahu, rasa sayangku ke dia ini mungkin cuma tersimpan secara sia-sia aja. Dimana dia, masih sayangkah dia. Aku tak tahu, yang aku tahu saat ini, aku ingin melupakannya, aku ingin jadi amnesia” aku semakin menangis sejadi-jadinya.
Ini kali pertama aku menceritakan pedihnya perasaanku terhadap orang lain. Sosok Rafa membuatku percaya, bahwa ia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat hati ini tenang. Dan memang, aku serasa lebih lega setelah bercerita panjang lebar ke dia.
“Husst, jangan bilang gitu. Bersyukurlah kamu masih diberi ingatan yang sempurna oleh-Nya. Di luar sana banyak orang yang ingin sembuh dari amnesia, mereka ingin bisa mengingat masa lalunya kembali. Biar pun masa lalu itu terkadang menyakitkan, tapi semua itu bisa jadi pelajaran berharga dikemudian hari. Aku sendiri juga gitu, aku ingin sembuh dari amnesiaku ini,”
Hah? Ternyata Rafa terkena amnesia? Ya Allah. Ternyata di balik keceriaannya saat ini, dia sedang mencoba mengingat kembali masa lalunya? Sungguh bodoh aku ini, seharusnya aku bersyukur memang, telah diberi ingatan yang sempurna oleh-Nya.
“Kamu amnesia Raf? Sejak kapan?” Aku bertanya keheranan, masih dengan mata yang terus mengeluarkan air mata. Pipiku semakin basah. Air mata ini malah semakin deras mengalir.
“Kata Mama Papaku, lima tahun silam aku dan mereka ke bandara, hari itu katanya aku mau berangkat ke Bandung, ngelanjutin Senior di sini untuk pertama kalinya. Tapi, tiba-tiba aja mobil yang Ayahku kendaliin remnya blong. Mobil itu menabrak pohon besar yang ada di pinggir jalan. Orangtuaku nggak kenapa-kenapa, tapi kepalaku membentur kaca mobil terlalu keras jadi aku amnesia gini. Aku hanya ingat orangtuaku aja. Masa laluku yang lain pun aku tak mengingatnya, tapi… Auww… kepalaku sakit, pusing,”
Rafa menjelaskan kronologis kejadian kecelakaannya lima tahun silam, meskipun yang ia ceritakan bukan sepenuhnya yang ia ketahui. Tapi, lima tahun silam adalah waktu dimana Bima pergi ninggalin aku, apakah mungkin, orang yang amnesia di hadapanku ini Bima Errafael Saputra?
“Rafa? Kamu kenapa? Kita balik yuk? Aku anterin ke rumah sakit,” aku cukup panik melihat Rafa mengerang kesakitan seperti itu. Seperti ada sesuatu di bagian kepalanya. Dari tadi ia memegangi kepalanya itu.
“Aku… Ng…nggak kenapa–kenapa kok. Dan, aku… Aku mulai mengingatnya. Yaa, A… Aku ingat! Namaku Bima Errafael Saputra, Dan, kamu? Aku seperti mengenalmu di masa lalu,” Rafa masih terus memegangi kepalanya. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Rasanya pasti sangat sakit. Rafa masih terus saja bergumam, mungkin otaknya sedang bermain dengan drama mini seperti apa yang sering bermain di ingatanku.
“Rafa, kamu nggak apa-apa kan? Aduhh, udah. Jangan dipaksain inget gitu. Kasihan kamunya,” aku semakin nggak tega melihat Rafa kayak gitu. Apa yang ia ucapin dari tadi aku tak mendengarnya. Aku terlalu cemas melihat keadaannya yang seperti ini.
“Raunny, aku inget semuanya. Kamu Raunny Angelia kan? Pacarnya Bima waktu masih junior? Kamu orang yang pernah disukain sama Aji kan pas kamu masih jadian sama Bima? Aku inget sama kamu. Iya, kamu pasti Raunny. Nggak mungkin salah. Dari awal aku nabrak kamu itu, wajah kamu kayak nggak asing lagi. Ini aku Bima, nama panggilan asliku. Bukan Rafa,”
Degg. Jantung ini serasa berhenti berdetak. Mataku semakin panas menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Aishh! Dia? Bima? Apakah mungkin? Kalau bukan, kenapa dia bisa tahu detail masa laluku? Kalau iya, begitu bodohnya aku, dulu aku tidak tahu kalau Bima sempat mengalami kecelakaan.
“Kamu beneran Bima? Kamu nggak lagi ngarang cerita kan? Aku emang udah nyadarin, semua tentang kamu memang mirip kayak Bima. Tapi, apa mungkin? Bagaimana mungkin kita dipertemukan kembali di sebuah kota yang jauh dari kota asal kita?” aku masih tak percaya. Air mata ini tak lagi tertahankan. Dan akhirnya air mata ini pecah membanjiri pipiku.
“Iya, aku benar-benar sudah ingat masa laluku. Aku ini beneran Bima. Aku masih inget banget semua tentang kita. Aku memilih ngelanjutin kuliah di sini karena aku ngerasa ada sebuah tempat yang berkesan. Hari ini, aku mulai ingat kembali kenangan di tempat itu. Aku mulai inget, waktu tour ke Bandung kita duduk bareng di samping fosil Dinosaurus. Aku mulai inget waktu kita makan bareng di bawah pohon deket Museum Geologi, iyaa aku pasti tidak salah mengingat kejadian itu. Semua itu bener kan?”
Ya, dia memang benar-benar Bima. Dia ingat kenangan tak terlupakan di Museum Geologi. Ya Allah, aku nggak nyangka detik ini aku masih bisa dipertemukan kembali dengannya.
“Bima, kamu dulu jahat banget sih? Kenapa kamu ninggalin aku tanpa alesan gitu?”
“Aku dulu emosi banget Raunny. Aku cemburu sama Aji. Dia sering banget deket-deket kamu, bahkan sampe nembak kamu segala, akhirnya di ujung kelulusan aku milih pergi ke Bandung ini buat ngelanjutin SMA. Bukan maksudku buat ngelupain kamu. Tapi, aku malah amnesia, jadi nggak inget apa-apa lagi tentang masa lalu kita,” penjelasan ini yang dari dulu aku tunggu, dan akhirnya setelah lima tahun aku menanti sebuah jawaban, penantian itu telah terjawab.
“Bima… maaf ya, aku terlalu buta. Aku nggak lihat perasaan orang lain. Aku sayang kamu. Aku juga nggak mau lihat Aji sedih gitu,”
“Iya, Raunny. Aku juga minta maaf ya, udah ninggalin kamu tanpa alasan gitu. Aku masih sayang kamu,”
Hari-hariku berubah, setelah ada Bima, yang hadir kembali di hidupku. Bintang itu kembali terang. Kisah masa lalu yang belum sempat terjawab, dan belum terselesaikan. Akhirnya mulai hari ini kembali berlanjut. Bima, orang yang kemarin hanya bermain di drama miniku. Kini dia hadir kembali di kehidupan nyataku. Terima kasih Yaa Allah. Sungguh, jalan-Mu tiada seorang pun yang tahu. Sesuatu yang indah itu akan terwujud pada waktunya. Aku tahu, rencana-Mu lebih indah dari apa yang aku rencanakan.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/jalan-untuk-kembali.html