Senin, 22 Februari 2016

Jalan Untuk Kembali

Jalan Untuk Kembali




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 31 October 2015

Bintang-bintang di galaksi kian redup. Sang venus mulai terlihat jelas. Jauh di ufuk timur sana. Tapi, siapa yang tahu luka ini. Seredup bintang itukah kalutnya perasaanku. Semerah Venus-kah goresan lukaku. Sejauh itukah jarak di antara kita? Tapi, bisakah kau ajariku. Melebur dalam gelap. Tanpa harus lenyap. Seperti kepergianmu. Yang lebur dalam gelapnya emosi. Tapi tak lenyap dari ilusi.
Kembali ku termenung di atas kasarnya batu karang di bawah merahnya goresan awan senja di ujung sana. Ku rasakan hempasan semilir angin pantai yang cukup sejuk. Lagi-lagi otakku bermain-main dengan drama khayalan yang aku buat. Hampir setiap waktu drama-drama itu terputar otomatis pada cakrawala ingatanku. Hati ini beku. Entah apa dan siapa yang bisa menghangatkan hati dan perasaanku saat ini. Tanpa sadar suara binatang malam telah melakukan canon untuk menyambut tergelincirnya matahari. Aku berjalan gontai menjauh dari tepi pantai. Sesekai kaki kecilku ini menendangi batu-batu kecil di dekatku.
“Hey! Minggir!” aku mendengar suara orang berteriak ke arahku. Hei, sepeda itu kenapa melaju cepat sekali. Ahh, tidakk! Tiba-tiba saja, “BRUKKK…” aku rasakan perih yang menjalar di sekitar lututku. Berasa dingin seperti ada sesuatu yang mengalir. Darah. Ternyata lumayan keras juga sepeda itu menghantam kakiku.
“Aduh, gimana ini. Ikut aku ke pos yuk, biar aku obatin,” ajaknya dengan ramah. Namun terihat segaris wajah cemas dan panik di sana. Dia memapahku menuju pos di ujung pantai. Kakiku yang yang berdarah tadi sekarang berubah menjadi putih, dibalut oleh perban yang luar biasa tebal. Maklum, pria itu sendiri yang membalut lukaku ini. Jadi hanya asal potong.
“Aduh, maaf ya. Gara-gara rem sepedaku blong kaki kamu jadi kayak gini deh. Aku tadi hilang kendali,” ucap pria itu sembari membersihkan luka di lututku.
“Iya, nggak apa-apa kok. Aku juga tadi jalan sambil ngelamun. Tiba-tiba aja ‘brukk’ kakiku terasa sakit,” tuturku sambil tertawa geli mengingat kejadian tadi.
“Hahaha. Emm, oh iya. Kenalin aku Rafa. Aku di sini ngekos aja. Bukan penduduk asli. Nama kamu siapa?” akhirnya aku tahu juga siapa nama laki-laki itu.
Rafa. Orang itu mirip sekali dengan orang yang sering bermain di drama miniku. Sosok orang yang sempat hadir di masa lalu, Bima. Sekilas wajah Rafa dan Bima memang mirip. Eh, tapi? Mirip banget malah. Apa mungkin mereka berdua saudara kembar? Mana mungkin. Dulu Bima tidak pernah bilang kalau dia punya saudara kembar.
“Aku Raunny, aku di sini juga ngekos. Kos-kosanku juga nggak jauh dari sini. Makanya hampir tiap sore aku dateng ke pantai,” aku menjelaskan secara singkat kebiasaan harianku.
Di beranda pos ini aku mengobrol lumayan lama dengan Rafa. Suara adzan Maghrib dari masjid di seberang jalan sana sayup-sayup mulai terdengar. Aku memutuskan untuk kembali ke kos-kosanku. Tapi Rafa bersikeras mengantarku pulang, padahal aku sudah menolaknya. Kini hampir tiap senja aku mengunjungi pantai bersama Rafa. Orang itu sungguh mengantarkanku pada ingatan silam bersama orang terindah di masa lalu. Bibirku kembali smiled down ketika aku mengingat Bima. Seseorang yang pergi meninggalkanku tanpa alasan. Dan sekarang dia seperti hilang ditelan bumi. Aku tak tahu bagaimana kabar dia sekarang.
Sikap Rafa lembut, sama seperti sikap Bima dahulu. Canda tawanya, senyumannya, tingkah lakunya. Bahkan, wajahnya pun mirip. Sumpah, semua itu sama persis dengan apa yang ada pada Bima. Ya Allah, kenapa engkau hadirkan seeorang yang mirip dengan Bima. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya sedangkan orang yang ada di dekatku saat ini sangat mirip dengan dia.
“Raunny, kamu kenapa? Kok kayaknya kamu sedih gitu sih?” aku lihat wajah heran Rafa yang terukir jelas di raut mukanya.
“Nggak, apa-apa kok Rafa. Cuma lagi inget seseorang aja,” Aku kembali tersenyum saat hati ini berkoar ingin menangis. Sungguh, aku tidak sanggup.
“Ceritain aja ke aku, maybe aku bisa bantuin kamu,”
Mungkin aku bisa berbagi cerita sama Rafa. Siapa tahu dia bisa kasih aku solusi dari kalutnya hatiku saat ini.
“Kamu ngingetin aku sama seseorang. Dulu orang itu sempat jadi yang terindah di kehidupanku. Sudah hampir lima tahun orang itu lenyap dari kehidupanku. Entah bagaimana kabarnya. Dia seperti hilang ditelan bumi,” aku mencoba menuturkan apa yang sesungguhnya sedang terjadi padaku. Bibir ini bergetar saat aku terang-terangan menyebut kenangan masa laluku bersama Bima. Aku menangis. Air mata ini mengalir mengikuti relief pipiku.
“Kamu masih sayang sama orang itu ya?” Rafa malah balik bertanya.
“Iya, Raf. Aku masih sayang banget sama dia. Dulu, orang itu pergi tanpa alasan. Ngilang gitu aja, pergi ninggalin aku seolah-olah dia tidak bersalah. Aku sendiri bingung, dia udah nyakitin aku gitu, tapi hati ini tetap berontak buat terus nungguin dia, terus sayang sama dia. Padahal aku sendiri tahu, rasa sayangku ke dia ini mungkin cuma tersimpan secara sia-sia aja. Dimana dia, masih sayangkah dia. Aku tak tahu, yang aku tahu saat ini, aku ingin melupakannya, aku ingin jadi amnesia” aku semakin menangis sejadi-jadinya.
Ini kali pertama aku menceritakan pedihnya perasaanku terhadap orang lain. Sosok Rafa membuatku percaya, bahwa ia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat hati ini tenang. Dan memang, aku serasa lebih lega setelah bercerita panjang lebar ke dia.
“Husst, jangan bilang gitu. Bersyukurlah kamu masih diberi ingatan yang sempurna oleh-Nya. Di luar sana banyak orang yang ingin sembuh dari amnesia, mereka ingin bisa mengingat masa lalunya kembali. Biar pun masa lalu itu terkadang menyakitkan, tapi semua itu bisa jadi pelajaran berharga dikemudian hari. Aku sendiri juga gitu, aku ingin sembuh dari amnesiaku ini,”
Hah? Ternyata Rafa terkena amnesia? Ya Allah. Ternyata di balik keceriaannya saat ini, dia sedang mencoba mengingat kembali masa lalunya? Sungguh bodoh aku ini, seharusnya aku bersyukur memang, telah diberi ingatan yang sempurna oleh-Nya.
“Kamu amnesia Raf? Sejak kapan?” Aku bertanya keheranan, masih dengan mata yang terus mengeluarkan air mata. Pipiku semakin basah. Air mata ini malah semakin deras mengalir.
“Kata Mama Papaku, lima tahun silam aku dan mereka ke bandara, hari itu katanya aku mau berangkat ke Bandung, ngelanjutin Senior di sini untuk pertama kalinya. Tapi, tiba-tiba aja mobil yang Ayahku kendaliin remnya blong. Mobil itu menabrak pohon besar yang ada di pinggir jalan. Orangtuaku nggak kenapa-kenapa, tapi kepalaku membentur kaca mobil terlalu keras jadi aku amnesia gini. Aku hanya ingat orangtuaku aja. Masa laluku yang lain pun aku tak mengingatnya, tapi… Auww… kepalaku sakit, pusing,”
Rafa menjelaskan kronologis kejadian kecelakaannya lima tahun silam, meskipun yang ia ceritakan bukan sepenuhnya yang ia ketahui. Tapi, lima tahun silam adalah waktu dimana Bima pergi ninggalin aku, apakah mungkin, orang yang amnesia di hadapanku ini Bima Errafael Saputra?
“Rafa? Kamu kenapa? Kita balik yuk? Aku anterin ke rumah sakit,” aku cukup panik melihat Rafa mengerang kesakitan seperti itu. Seperti ada sesuatu di bagian kepalanya. Dari tadi ia memegangi kepalanya itu.
“Aku… Ng…nggak kenapa–kenapa kok. Dan, aku… Aku mulai mengingatnya. Yaa, A… Aku ingat! Namaku Bima Errafael Saputra, Dan, kamu? Aku seperti mengenalmu di masa lalu,” Rafa masih terus memegangi kepalanya. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Rasanya pasti sangat sakit. Rafa masih terus saja bergumam, mungkin otaknya sedang bermain dengan drama mini seperti apa yang sering bermain di ingatanku.
“Rafa, kamu nggak apa-apa kan? Aduhh, udah. Jangan dipaksain inget gitu. Kasihan kamunya,” aku semakin nggak tega melihat Rafa kayak gitu. Apa yang ia ucapin dari tadi aku tak mendengarnya. Aku terlalu cemas melihat keadaannya yang seperti ini.
“Raunny, aku inget semuanya. Kamu Raunny Angelia kan? Pacarnya Bima waktu masih junior? Kamu orang yang pernah disukain sama Aji kan pas kamu masih jadian sama Bima? Aku inget sama kamu. Iya, kamu pasti Raunny. Nggak mungkin salah. Dari awal aku nabrak kamu itu, wajah kamu kayak nggak asing lagi. Ini aku Bima, nama panggilan asliku. Bukan Rafa,”
Degg. Jantung ini serasa berhenti berdetak. Mataku semakin panas menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Aishh! Dia? Bima? Apakah mungkin? Kalau bukan, kenapa dia bisa tahu detail masa laluku? Kalau iya, begitu bodohnya aku, dulu aku tidak tahu kalau Bima sempat mengalami kecelakaan.
“Kamu beneran Bima? Kamu nggak lagi ngarang cerita kan? Aku emang udah nyadarin, semua tentang kamu memang mirip kayak Bima. Tapi, apa mungkin? Bagaimana mungkin kita dipertemukan kembali di sebuah kota yang jauh dari kota asal kita?” aku masih tak percaya. Air mata ini tak lagi tertahankan. Dan akhirnya air mata ini pecah membanjiri pipiku.
“Iya, aku benar-benar sudah ingat masa laluku. Aku ini beneran Bima. Aku masih inget banget semua tentang kita. Aku memilih ngelanjutin kuliah di sini karena aku ngerasa ada sebuah tempat yang berkesan. Hari ini, aku mulai ingat kembali kenangan di tempat itu. Aku mulai inget, waktu tour ke Bandung kita duduk bareng di samping fosil Dinosaurus. Aku mulai inget waktu kita makan bareng di bawah pohon deket Museum Geologi, iyaa aku pasti tidak salah mengingat kejadian itu. Semua itu bener kan?”
Ya, dia memang benar-benar Bima. Dia ingat kenangan tak terlupakan di Museum Geologi. Ya Allah, aku nggak nyangka detik ini aku masih bisa dipertemukan kembali dengannya.
“Bima, kamu dulu jahat banget sih? Kenapa kamu ninggalin aku tanpa alesan gitu?”
“Aku dulu emosi banget Raunny. Aku cemburu sama Aji. Dia sering banget deket-deket kamu, bahkan sampe nembak kamu segala, akhirnya di ujung kelulusan aku milih pergi ke Bandung ini buat ngelanjutin SMA. Bukan maksudku buat ngelupain kamu. Tapi, aku malah amnesia, jadi nggak inget apa-apa lagi tentang masa lalu kita,” penjelasan ini yang dari dulu aku tunggu, dan akhirnya setelah lima tahun aku menanti sebuah jawaban, penantian itu telah terjawab.
“Bima… maaf ya, aku terlalu buta. Aku nggak lihat perasaan orang lain. Aku sayang kamu. Aku juga nggak mau lihat Aji sedih gitu,”
“Iya, Raunny. Aku juga minta maaf ya, udah ninggalin kamu tanpa alasan gitu. Aku masih sayang kamu,”
Hari-hariku berubah, setelah ada Bima, yang hadir kembali di hidupku. Bintang itu kembali terang. Kisah masa lalu yang belum sempat terjawab, dan belum terselesaikan. Akhirnya mulai hari ini kembali berlanjut. Bima, orang yang kemarin hanya bermain di drama miniku. Kini dia hadir kembali di kehidupan nyataku. Terima kasih Yaa Allah. Sungguh, jalan-Mu tiada seorang pun yang tahu. Sesuatu yang indah itu akan terwujud pada waktunya. Aku tahu, rencana-Mu lebih indah dari apa yang aku rencanakan.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/jalan-untuk-kembali.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar