Selasa, 16 Februari 2016

Ilmu Bukan Cinta

Ilmu Bukan Cinta




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 14 February 2016

Saat itu jam pulang, sekolah telah mulai sunyi. Aku memberanikan diri untuk melompat dari lantai tiga gedung sekolahku. Hal itu ku lakukan karena masalah percintaanku yang harus berakhir dengan Arya. Aku melayang beberapa saat, lalu terkapar di tanah dengan bersimbah darah segar yang ke luar dari kepalaku. Beberapa murid dan guru yang masih ada di sekolah mendengar suara gaduhku dan segera menghampiri aku yang telah terbujur kaku dengan bibir pucatku. Mereka terkejut yang mendapati aku dengan keadaan buruk itu. Dipanggilnya ambulans, namun tak dapat menolongku yang telah dikalahkan maut. Aku tewas dengan meninggalkan orangtuaku dan kedua adikku. Mereka sedih dan menangis, namun berbeda dengan beberapa temanku. Mereka malah tertawa senang karena telah kehilangan aku, biang dari segala ribut dan kegaduhan di kelasku.
“Rianti, coba kerjakan soal di depan!”
Suara itu mengagetkanku hingga aku tersadar dari lamunan keputusasaanku itu. Dengan gugup aku melangkah ke depan papan dan berusaha memecahkan soal tersebut. Ku gunakan semua logika dan kemungkinan pemecahannya. Namun bukan tepuk tangan yang ku dapati, melainkan gelak tawa para teman-temanku. Pak Anom yang selaku guru matematika menghentikan suara tawa itu dan kemudian geleng kepala.
“Apa kamu belum mengerti, Rianti?” tanya Pak Anom.
“Iya, Pak,” Begitu jawabku gugup.
“Dari tadi kamu ke mana saja? Tadi Bapak tanya, katanya sudah mengerti.” Kata Pak Anom.
“Ya sudah, kamu duduk! Nanti kita bahas lagi.” Lanjutnya. Aku menuju tempat dudukku.
Pelajaran ini kemudian ditutup dengan diakhiri pembagian nilai ulangan harian minggu lalu. Milikku kini diberikan padaku. Seketika mataku terbelalak melihat angka 46 yang besar tertulis di kertas ulanganku dengan tinta merah. “Haahh, apa ini? 46? Inikah nilaiku? Oh Tuhan mengapa begini? Padahal aku mengerjakannya dengan yakin dan aku juga sudah belajar. Apa ini karena malam itu aku chattingan sama Arya? Ahh sialan, sudah diputusin dapet nilai jelek lagi. Huh, rasanya aku harus mulai belajar lebih giat lagi nih, biar gak jeblok terus.” Pikirku dengan penuh amarah.
Sejak saat itu, ku fokuskan hari-hariku dengan belajar, belajar dan terus belajar. Begitu seterusnya hingga ulangan harian untuk matematika kembali dilaksanakan. Kali ini aku berusaha semaksimal mungkin agar tak mengecewakan orangtua lagi. Soalnya cukup mudah, namun jawabannya yang masih ku pecahkan. Lumayan sulit, namun aku yakin kali ini aku pasti berhasil dan Tuhan pasti menolongku. Waktu pengerjaan telah berakhir tepat semenit setelah aku selesai. Aku kumpulkan dan berharap kali ini nilaiku tinggi.
Dua hari kemudian, dibagikannya hasil ulangan oleh ketua kelasku. Kali ini aku sedikit gugup. Ingin melihat namun tak berani, tak melihat namun penasaran. Terpaksalah ku lihat, daripada diriku jadi penasaran seumur hidup. Mataku kini kembali terbelalak. Bukan karena nilai 46 atau sejenisnya, melainkan nilai yang sangat-sangat luar biasa besar yang baru pertama kali aku dapatkan dalam mata pelajaran matematika ini. 95 itulah nilaiku, nyaris saja sempurna. Namun aku cukup bahagia dan bersyukur atas apa yang Tuhan berikan padaku. Malam ini di kamarku, aku menghabiskan waktuku dengan membaca sebuah novel yang ku pinjam dari perpustakaan sekolah. Handphone-ku kemudian bergetar menandakan adanya pesan masuk. Oh, ternyata dari Arya.
“Hai, selamat ya buat nilai seratusnya. Aku kagum deh,” begitu tulisnya.
“Iya sama-sama.” Jawabku singkat.
“By the way busway, kamu dah punya pacar lagi ya?” begitu pesan selanjutnya.
“Enggak tuh, kenapa?” jawabku sedikit cuek.
“Oh baguslah kalau gitu. Kamu mau gak balikan lagi sama aku?” katanya.
Jujur saja kali ini, aku sangat terkejut. Arya yang telah memutuskan hubungannya kini memintaku kembali menjalin hubungan tersebut. Saat itu, dilema langsung menerpaku. Antara fokus dengan pendidikan atau kembali menjalin hubungan dengan orang yang masih ku sayang. Sudahlah, aku tak mau berpikir panjang lagi. Tak mau lagi disakiti oleh orang sama untuk kesekian kalinya, setidaknya ilmu itu tidak menyakitkan. Jadi ku tolak penawaran itu dan langsung menghapus kontaknya. Ya, setidaknya ilmu tidak memberikan harapan palsu. Seperti yang diberikan Arya terdahulu. Kini berkat ilmu, aku tak perlu lagi sakit hati dan mengharapkan orang yang tak penting. Bahkan kini aku bisa memilih cintaku sendiri dan meraih cita-cita sebagai Sarjana S2 dan tentunya sebagai Guru, pekerjaan idaman dalam hidupku.
Cerpen Karangan: Ayu Gita

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-remaja/ilmu-bukan-cinta.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar