Senin, 22 Februari 2016

Siti Nurbaya Hidup Lagi

Siti Nurbaya Hidup Lagi




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 29 September 2013

40 tahun yang lalu, ada gadis bernama Siti. Nama panjangnya Marsiti. Satu kata saja. Menurutnya, dia rupawan. Dan itu memang benar. Dia kembang desa. Banyak orang terpesona dengan wajahnya yang cantik jelita. Usianya 15 tahun. Dia baru lulus dari SMP. Tidak banyak anak bisa sekolah seperti dia, apalagi untuk anak gadis. Kebanyakan gadis di kampungnya lulus dari SD bahkan belum lulus SD sudah menikah. Memangnya mau apa kalau tidak menikah? Sekolah, tidak. Bekerja pun tidak. Paling membantu Ibu memasak di dapur atau ngerangsum – mengirim makanan – Bapak ke sawah. Jadi menikah usia muda di waktu 40 tahun yang lalu adalah pilihan utama. Meringankan beban orang tua dengan mengabdikan diri menjadi isteri sholihah.
Tapi tidak dengan pemikiran Siti. Darah Kartini mengalir dalam nadinya. Dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Bercita-cita mulia untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi seorang guru adalah tujuannya. Namun dia merasa jalannya tidak mudah. Karena malam itu, keluarganya kedatangan seorang tamu.
“Kalau saya setuju-setuju saja, Pak.” Bapaknya mengangguk mendengar jawaban Ibunya.
“Jadi bisa langsung diresmikan nggeh, Bu? Nanti saya datang lagi untuk melamar.” Tegas lelaki yang duduk di hadapan Bapak dan Ibunya.
Siti mencuri dengar pembicaraan dari lubang kunci pintu kamarnya. Dilihatnya orang yang menjadi tamu penting Bapak Ibunya. Rambut putih telah tumbuh di kepala. Beberapa kumisnya pun telah memutih. Pakaiannya rapi. Jam tangan bertengger di tangan kiri. Mobil sedan merah dengan seorang supir yang mengantarnya singgah di rumah Siti. Siti menyimpulkan dia orang kaya raya. Penampilannya tidak seperti lelaki desa pada umumnya. Namun tetaplah Siti tidak terima jika lelaki seperti itu yang Ibu dan Bapaknya pilihkan sebagai suami. Dia terlalu tua. Siti kecewa. Sangat kecewa. Siti tak habis pikir, betapa tega Bapak dan Ibunya menjual dirinya hanya demi harta.
Sudah saatnya siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru) mulai masuk sekolah. Letak sekolahnya di kota. Siti lulus tes masuk di sekolah negeri itu. Namun Siti tidak beranjak satu langkah pun dari kampungnya. Bapak dan Ibunya tidak mengizinkan Siti melanjutkan sekolah sesuai keinginan Siti. Dia hanya di rumah menganggur. Kabar yang sampai di telinga Siti, dia telah dilamar oleh seseorang tanpa sepengetahuannya. Dia telah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Tentu saja Siti berontak. Dia tak mau menikah dengan siapapun pada waktu itu. Dia ingin mengejar cita-citanya.
“Aku akan merantau ke Jakarta. Aku cantik. Pasti banyak orang yang mau mengangkatku menjadi anak. Kalau tidak, aku akan bekerja sebagai pembantu atau apapun. Cari uang untuk bisa sekolah.” Demikian kata yang selalu Siti ucapkan kepada setiap orang yang dia jumpai.
Mulai dari tetangga sebelah rumah, ibu-ibu arisan, orang matun – menanam padi -, pegawai kecamatan rekan kerja Bapaknya Siti, sampai mlijo – penjaja sayur – yang biasa lewat depan rumah, mengetahui cerita malang Siti. Siti yang ditunangkan dengan seseorang yang tidak dia suka dan Siti yang berniat untuk kabur dari rumah.
Sudah jauh-jauh hari sebelumnya Siti berencana mengendap-ngendap di kegelapan malam dan pergi entah kemana kakinya akan melangkah. Beberapa hari Siti mengumpulkan kenekatan dalam dirinya. Dan dia telah siap. Baju dan kebutuhan lain telah dia masukkan ke dalam tas sekolah. Satu jam lagi. Dia menunggu jarum jam pendek berhenti pas di angka 10 dan jarum jam panjang mendekati 12. Di jam itu biasanya lampu sudah dipadamkan dan penghuni rumah terlelap dalam tidur.
09.30 pm
“Siti…” Panggil Bapaknya
“Aduh.” Gumam Siti lirih. Spontan telapak tangan Siti memukul kepalanya sendiri mendengar seruan itu.
“Sini, Nak…” Bapaknya mengulang panggilannya karena tidak mendengar respon apapun dari Siti.
‘Apa ketahuan yah..’ pikir Siti. Siti bukanlah anak yang biasa mengabaikan perkataan Bapaknya. Diletakkan tas berat yang sedari tadi ditentengnya. Lalu dia mendatangi sumber suara itu.
“Iya, Pak…” Siti melihat kedua orang tuanya duduk bersebelahan.
“Duduklah!” Perintah Bapaknya.
Siti duduk sambil menggenggam erat jemarinya. Dia panik. Dia didudukkan seperti ini berarti akan diinterogasi dan dihakimi. Siti takut orang tuanya akan sangat marah. Lebih parah lagi kalau Siti diusir sebelum sempat dia kabur dari rumah. Tentu akan beda kesannya, jika dia pergi dari rumah dengan alasan kabur atau diusir.
“Besok Siti sudah bisa melanjutkan sekolah.” Kata-kata Bapaknya membuat Siti kaget dan langsung mendongakkan kepala.
“Kenapa-tiba-tiba-Bapak…” Siti berkata terbata-bata.
“Siti.. Harimau saja tidak memakan anaknya sendiri, apalagi Bapak dan Ibu. Mana mungkin Bapak mengorbankan kebahagiaan Siti hanya untuk kesenangan Bapak atau Ibu. Kalau Siti tidak setuju dengan perjodohan itu, tak apa, Bapak tidak memaksa. Bapak sudah mengurus semua keperluan sekolah Siti. Belajarlah yang rajin, raih cita-citamu, Nak..” Dengan berwibawa Bapaknya menyampaikan maksudnya tanpa ada garis kemarahan sedikit pun di wajah. Berbeda 180 derajat dari perkiraan Siti.
Sore hari itu Siti membersihkan rumah. Sudut ruangan, kolong meja. kolong kasur, tak ada debu yang terlewat dari sapuan Siti. Tak lupa, Siti pun membereskan meja kerja Bapaknya. Siti amankan dokumen-dokumen penting ke dalam laci agar tidak hilang atau tertiup angin. Sampai mata Siti tiba di kertas putih yang digulung dan diikat dengan sehelai pita merah. Penasaran, Siti membukanya.
… Mohon maaf, mengenai perjodohan, saya dengar anak Bapak tidak setuju. Saya bermaksud membatalkannya. Mungkin belum berjodoh. Saya tidak mau menghidupkan Siti Nurbaya ke dunia lagi…
Begitulah sepenggal kata yang terekam dalam ingatan Siti sampai sekarang. Surat itu tertanggal 3 hari sebelum Bapaknya mengizinkan Siti sekolah lagi. Pastilah itu dari pak tua yang pernah datang melamar Siti.
Selanjutnya, hari-hari Siti jalani tanpa ada kata perjodohan. Setelah menuntaskan pendidikannya, Siti ditugaskan mengajar SMA di daerah terpencil. Jauh dari rumah dan sanak saudara. Hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya.
Siti merasa ini hanya kebetulan semata, namun sebenarnya kitab takdir telah mencatat sebelum Siti terlahir ke dunia. Disana Siti mengenal polisi tampan yang senasib dengannya. Panggilannya Pak Sugi. Nama panjangnya Sugiantoro. Satu kata saja. Dia dinas di daerah terpencil itu juga. Jauh dari rumah dan sanak saudara. Hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya. Disanalah, di desa yang lebih desa dari desanya Siti, di kampung yang lebih kampung dari kampungnya Siti, takdir cinta mengikat hati keduanya.
Betapa terkejutnya Siti menjumpai lagi lelaki yang dulu dia panggil dengan sebutan pak tua. Dia orang yang dulu pernah Siti tolak lamarannya. Ternyata dulu pak tua melamar Siti untuk anaknya yang masih menjalani pendidikan kepolisian, dia adalah Sugi. Pak tua itu kini menjadi mertua. Yah, kitab yang mengatur perjodohan telah mengatur semuanya. Entah melalui perjodohan atau perkenalan, bagaimanapun jalannya, takdir telah menulis Sugi sebagai jodoh Siti dan melancarkan prosesnya hingga ke pelaminan. Mereka pun hidup bahagia hingga sekarang…

Aku duduk tertunduk sambil meremas jemariku. Bukan panik karena akan dimarahi, tapi mungkin karena grogi. Keluargaku kedatangan tamu. Tamu itu kini menunggu keputusanku. Aku mendongakkan kepala dan mengangguk malu, menandakan bahwa ‘iya’ adalah jawabanku.
Pendidikan kedokteranku telah selesai. Mereka berjanji mendukung dan mengizinkanku melanjutkan tugas pengabdian. Aku bukan anak kecil lagi. Melaui istikharah kuminta petunjuk dan kemantapan hati kepada Sang Pengasih. Kisah Siti yang diceritakan oleh Mama semalam juga memberiku sedikit pencerahan. Tak ada salahnya jika aku menerima perjodohan.
Kulirik Siti dan Sugi yang kini menjadi Mama dan Papaku. Mereka tersenyum. Kulihat lelaki di hadapanku yang hari ini pertama kalinya kita bertatap muka. Dia juga tersenyum. Dan rasanya aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Kulirik pasutri bakal mertuaku. Semuanya tersenyum. Aku bukan Siti Nurbaya yang hidup lagi. Lain. Ini adalah cerita perjodohan yang berakhir bahagia..

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/siti-nurbaya-hidup-lagi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar