Minggu, 28 Februari 2016

Tahajud Nenek Aisha

Tahajud Nenek Aisha



“Labbaik Allahuma Labbaik. Labbaik Laa Syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak.”
Itulah ucapan talbiyah yang ingin nenek Sumtiantuti ucapkan di tanah suci Mekkah pada saat menjalankan rukun islam yang kelima. Nenek yang berumur setengah abad lebih 10 tahun ini telah berpuluh tahun lamanya ingin menunaikan ibadah haji. Nenek yang lebih sering disapa nenek Aisha dengan warga sekitar karena ia memiliki cucu bernama Aisha. Ia pun harus lebih sabar menunggu kapan ia bisa menjalankan rukun islam yang kelima itu.
Cucunya yang masih berumur 6 tahun pun harus masih ditanggungnya lantaran kedua orangtuanya sudah menghadap sang kuasa lantaran kecelakaan tragis yang menimpanya. Entah cuaca yang begitu terik maupun hujan ia setiap hari keliling kampung menjajakkan jamu buatannya sendiri, tak kalah punggungnya terkadang sakit di malam hari. Kulit keriputnya, matanya yang sayup, tubuhnya yang begitu kurus dan badannya membungkuk begitulah kira-kira keadaannya. Baginya, hanya Aishalah sang penyemangatnya, lentera baginya. Tiada suami dan anak kini cucu semata wayangnyalah teman masa tuanya, harapan satu-satunya baginya.
“Nenek, Nenek selama ini Aisha lihat sering memasukkan uang ke celengan ayam. Nenek menabung ya?” tanya Aisha suatu malam di ruang tamu.
“Iya, Nenek menabung sayang.”
“Apakah uangnya sudah banyak?”
“Tidak tahu, Nenek belum menghitungnya.”
“Lalu, untuk apa uang itu Nek?” Aisha pun terus bertanya.
“Untuk naik haji.” sambil tersenyum kecil.
“Naik haji? Naik haji itu apa Nek?”
“Sudahlah, kita tidur saja ini sudah larut malam.”
“Tidak, lebih baik kita hitung saja uang di celengan ayam itu Nek.”
Nenek Aisha pun terdiam sejenak, lalu ia mengangguk. Ia pun menghitung uang tersebut bersama Aisha.
“Semuanya 10 juta Nek. Apakah 10 juta sudah cukup Nek?”
“Tidak Aisha, ini belum cukup. Nenek masih butuh banyak uang untuk pergi haji.”

Mentari telah menyapa dunia, pagi ini nenek Aisha tidak keliling kampung menjajakkan jamunya karena ia sedang sakit. Entah sudah berapa kali Aisha menangis dan kini matanya sembab, ia menangis lantaran neneknya sakit ia bersikeras tidak mau sekolah.
“Kenapa Aisha tak mau sekolah?” sambil berbaring di tempat tidur.
“Aisha mau ngerawat Nenek.”
“Tidak perlu, sana pergi ke sekolah. Nenek tidak apa-apa.”
“Tidak mau Nenek.”
Nenek Aisha pun tidak bisa memaksa Aisha. Dengan penuh kasih sayang Aisha mengompres neneknya, memberi neneknya obat warung, memberinya makan walaupun hanya dengan garam karena ia belum bisa memasak. Tidak heran tapi jika neneknya ia beri makan nasi dan garam saja, hampir tiap hari Aisha dan neneknya hanya makan itu. Memang miris, tetapi inilah takdir semuanya sudah ada yang membuat skenarionya yaitu sang kuasa. Langit telah berganti malam. Tengah malam yang begitu sunyi hanya ditemani suara jangkrik, nenek Aisha tebangun dari tidurnya. Entah apa yang membuatnya seperti ini ia kemudian mengucapkan ucapan talbiyah, lebih dari satu kali ia ucapkan sambil berbaring terus ia ucapkan. Lalu ia pergi mengambil wudhu dan menjalankan tahajud.
Aisha mengalami perasaan gundah dan gelisah kemudian ia beranjak dari tempat tidurnya dan ia melihat neneknya yang sedang sujud. “Nenek salat?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia pun mendekati neneknya yang sedang salat, tiba-tiba ia merasa ada yang aneh. Dan sontak Aisha pun terkejut. Inilah tahajud nenek Aisha yang terakhir dalam hidupnya.
Cerpen Karangan: Yuni Lestari

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/tahajud-nenek-aisha.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar