Senin, 22 Februari 2016

Sunrise on Sunday

Sunrise on Sunday




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 28 April 2013

Setiap minggu aku selalu duduk di sebuah saung yang terletak di tepi pantai. Aku selalu berangkat jam lima dari rumah hanya untuk melihat matahari terbit. Selain melihat matahari terbit, aku juga ingin melihat matahari terbitku yang kedua. Yaitu seorang cowok tampan yang selalu lari pagi di tepi pantai. Diam-diam aku sering mengamati cowok misterius itu. Aku suka melihat wajahnya yang terkena biasan matahari pagi.
Dia kembali datang. Lari pagi dengan santai di tepi pantai. Wajahnya benar-benar indah ketika matahari terbit menyinarinya dari belakang. Dia tidak pernah berlari sampai depan saung. Dia selalu kembali berlari ke timur dan menghilang. Begitulah ritual paginya. Aku suka melihat matahari terbit sedangkan cowok misterius itu hobi berlari di tepi pantai.
Keesokan harinya di sekolah. Aku selalu menceritakannya pada Alfa. Alfa adalah sahabatku sejak kecil. Ke mana-mana kami selalu bersama, hingga kami mendapat sebutan “si kembar tapi beda”. Biasanya pada hari senin, aku selalu mendapat sekuntum bunga matahari di mejaku. Dan aku tahu bunga itu merupakan pemberian Alfa. “kamu suka sama berapa cowok sih?” ucap Alfa. Aku sedikit meringis mendengar ucapannya.
Alfa tahu kalau aku sedang menyukai Fado sekarang. Cowok tampan pemain basket terkenal di sekolahku. Sejak kelas satu SMA aku menyukai cowok keren itu. “aku nggak bilang kalo aku suka sama si matahari terbit itu, Al. Aku cuma bilang kalo aku penasaran sama dia.” Jelasku pada Alfa. Kami duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen di halaman sekolah. “lagian kamu cuma janji ter…” kata-kataku mengambang begitu kulihat wajah Alfa yang terkena biasan matahari dari belakangnya. Bentuk wajah itu…
“janji apa?” tanya Alfa menyadarkanku. Aku sedikit salah tingkah. Aku mulai curiga pada Alfa dan tidak konsen dengan apa yang aku bicarakan. Jangan-jangan cowok yang di pantai itu Alfa?. Batinku. “janji apa, ndah?” Alfa mengulangi pertanyaannya. Namun, aku sudah terlanjur larut dalam pikiranku. Akhirnya aku mencoba menghindari Alfa. “Al, aku ke kelas dulu ya.” Ucapku lalu pergi meninggalkan Alfa.
Minggu selanjutnya aku kembali pergi ke saung pagi-pagi buta. Hubunganku dengan Alfa semakin kacau. Aku mulai sering memikirkan cowok itu. Aku sangat mempercayai Alfa sebagai sahabat dan aku tidak ingin Alfa menyukaiku, atau ingin menganggapku lebih. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut jika Alfa menyukaiku.
Matahari mulai terlihat malu-malu muncul dari ufuk timur. Dan cowok itu kembali datang. Dia berlari ke arah barat dan tak lama kemudian dia membalikkan tubuhnya lalu putar arah kembali ke timur. Cowok itu tidak kembali lagi setelah berlari ke timur. Hal itu semakin membuatku yakin bahwa dia adalah Alfa. Karena satu-satunya cowok yang tahu kalau aku sering datang ke sini adalah Alfa.
Aku semakin penasaran. Kali ini kucoba memberanikan diri untuk mengikuti cowok itu. Cowok itu terus berlari dan aku mengikutinya diam-diam bagaikan penguntit. Ketika tiba di garis pantai yang berkelok dan dibatasi tebing pegunungan, aku semakin mempercepat lariku agar tak kehilangan jejak. Aku berhasil mengikutinya. Dia terus berlari menjauhi pantai dan memasuki hutan kecil di sana. Aku sedikit khawatir. Walaupun jarakku dengan cowok misterius itu terbentang jauh. Tapi kekhawatiranku tak dapat kututupi.
Hutan kecil itu tembus pada jalan raya. Aku mulai tenang dan terus mengikutinya. Tiba-tiba dia memasuki sebuah rumah yang mempunyai gerbang besar dengan pagar cokelat emas. Lama aku hanya menatap rumah itu. Sepertinya aku mengenali rumah itu. Aku menatap jalan raya yang aku pijaki. Aku sadar jalan raya ini adalah jalan menuju ke rumah Alfa. Dan rumah berpagar cokelat emas itu adalah rumah Alfa. Dugaanku benar. Cowok misterius itu adalah Alfa. Dan jangan-jangan Alfa tahu kalau aku mengikutinya sejak tadi?
Alfa memang cowok manis dengan kulit lumayan putih, wajahnya bersih. Namun, aku tidak mungkin menyukai sahabatku sendiri. Apalagi dia adalah sahabat kecilku.
Semenjak kejadian itu hubunganku dengan Alfa semakin renggang. Aku selalu menjahuinya tanpa alasan. Sedangkan Alfa selalu mengejarku dengan beribu pertanyaan yang sama. “Indah!” panggilnya dengan langkah-langkah cepat. Namun aku tak menghiraukannya. Aku terus melangkah ke kantin.
“kamu kenapa sih kok jadi aneh gini?” tanya Alfa. “aneh gimana?” balasku dengan nada ketus. “kamu ngejauhin aku. Ada apa? Aku salah?” tanyanya. Aku mencoba menatap Alfa tajam. “cowok di pantai itu kamu kan?” ucapku sedikit membentak. Mata Alfa membulat lebar. “cowok pantai?” katanya sedikit mengangkat sebeah alisnya. “aku nggak pernah ke pantai minggu pagi. Aku selalu tidur. Kenapa kamu bisa ngira kalo cowok itu aku?” “aku sudah mengikutinya kemaren. Dan cowok itu masuk ke rumahmu!” jelasku penuh emosi dan meninggalkan Alfa. “tapi dia bukan aku, Ndah!” teriaknya dan aku tak mengubrisnya.
Minggu pagi, aku kembali mendatangi saung untuk melihat sang mentari terbit. Tiba-tiba HP-ku bergetar. ada satu pesan masuk. Dari Alfa. Kubuka pesan itu dan kubaca.
“cowok matahari terbitmu itu bukan aku, Indah. Dia itu saudara sepupuku sendiri. Dan kamu tahu orangnya, tapi dia bukan aku. Sorry, selama ini aku merahasiakannya darimu. Tapi aku sekarang sudah jujur. Jadi aku pikir kita bisa baikan lagi.”
Sengaja aku tak membalas pesan dari Alfa. Karena aku yakin itu pasti cuma alasan cowok itu. Yang kutahu, Alfa tidak pernah mempunyai saudara sepupu. Aku sering ke rumahnya. Tapi tak seorangpun yang pernah muncul di sana. Hanya Alfa. Dia sahabat kecilku. Dan aku pasti akan tahu kalau dia punya saudara sepupu.
Perlahan matahari mulai menampakkan dirinya. Menyinari laut biru dan menyelimuti laut itu dengan warna merah keemasan. Aku menyukai warna itu. Lalu bersamaan dengan terbitnya matahari, seorang cowok kembali datang dan berlari-lari kecil mengikuti garis pantai. seketika emosiku kembali buncah, aku beranjak dari saung dan menghampiri cowok itu dengan langkah-langkah cepat.
Begitu tiba di dekatnya aku beridiri berkacak pinggang. “Alfa!” teriakku dengan suara lantang. Seketika cowok itu berhenti dan menoleh padaku. Wajahnya terlihat gelap karena biasan matahari. Dia menghampiriku. Aku juga menghampirinya. Dan begitu tiba tepat di hadapan cowok itu. Aku terperangah dan kaget. Cowok matahari terbit itu bukanlah Alfa. Melainkan Fado. Cowok yang selama ini aku suka.
“hai!” sapanya santai. Aku mencoba tersenyum dan sedikit salah tingkah. “emm… maaf, aku pikir kamu Alfa.” “aku tahu, kamu ngejauhin Alfa cuma gara-gara aku kan?” aku hanya diam. “aku sepupunya Alfa. Sebenarnya dari dulu aku sering melihat kamu di saung. Aku sering ngasi bunga matahari melalui Alfa. Tapi aku minta Alfa agar merahasiakannya. Maaf ya.” Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
Aku masih terperangah mendengar penjelasannya. Dan kenapa Alfa tidak pernah bilang kalau Fado adalah saudara sepupunya. Dasar Alfa, dia memang sahabat yang baik. Maafkan aku ya, Al. Batinku. Ternyata matahari terbitku yang misterius adalah orang yang selama ini ku suka.
Cerpen Karangan: Ulfa Nurul Hidayah

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/sunrise-on-sunday.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar