Selasa, 16 Februari 2016

Favorite Girl

Favorite Girl




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 14 February 2016

Namaku M. Rio Fernando, biasa dipanggil Rio. Aku menyukai seorang gadis, seorang gadis yang ku anggap unik. Dia pekerja keras, sangat percaya diri dan mudah bergaul. Awalnya aku tak begitu memperhatikannya, aku terlalu sibuk melihat gadis-gadis yang berparas cantik. Tapi setelah berjalan 2 bulan aku berada dalam satu organisasi yang sama, perlahan rasa itu muncul. Aku mulai suka memperhatikannya, mulai dari sifatnya yang cukup tomboi meskipun dia berhijab, tingkahnya yang konyol dengan beberapa temannya, bagaimana dia tertawa bahagia, menangis, bahkan raut wajah lucunya ketika bingung. Terlebih ketika dia mencoba akrab denganku. Ya, aku memang menyukainya.
Hari ini aku melihatnya berlari dari depan gerbang menuju aula. Sebenarnya aku sedang tidak menunggunya, hanya saja entah mengapa aku ingin melihat ke luar dari lantai dua ini. Dan binggo, aku melihat kedatangannya dari arah gerbang. Beberapa kali dia melihat ke arah arloji berwarna ungu yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Dia telat 30 menit dari waktu yang ditentukan, aku yakin dia akan mendapat masalah dari ketua panitia. Kini dia mulai menaiki tangga dengan cepat, hingga akhirnya sampai di depan aula. Dia membuka pintu aula itu pelan, dan…
“Laila! Kamu telat 30 menit!” bentak Roy selaku ketua panitia untuk acara yang akan dilaksanakan besok. Laila terbelalak kaget, dia tersenyum kecil dan menghampiri Roy.
“Iya aku telat, aku minta maaf, tapi aku udah permisi sama Kak Fara kalau aku bakalan telat,” ungkap Laila dengan napas masih belum beraturan. Aku memandangi mereka dari dekat jendela, sifatnya yang pemberani mempertahankan akan dirinya tidak bersalah.
“Di sini yang ketua panitia siapa? Aku atau Kak Fara? Kamu sekarang dihukum keliling lapangan satu kali,”
“Apaaa!!” pekik Laila kaget, dia tetap tidak terima kalau bersalah. Laila menghembus jilbab ke atas, dia sedikit memiringkan kepalnya ke kiri, menaikkan lengan bajunya dan meletakkan kedua tangannya di pinggang. Dia menghentakkan kaki kanannya beberapa kali.
“Heh,” ucap Laila kasar seraya mendorong bahu Roy dengan telunjuknya. “Kamu pikir kamu siapa? Kamu hanya ketua panitia, ingat gak lebih. Toh ketua yang sebenarnya untuk acara ini adalah Kak Fara, lantas kenapa kalau aku permisi sama Kak Fara?” bentak Laila. Dapat ku akui keberanian dia.
“Kamu berani dorong aku?” tanya Roy yang kaget dengan tingkah Laila. Laila melangkah ke depan, dan Roy harus mundur ke belakang.
“Kamu pikir aku takut sama kamu? Enggak!!! Kamu itu udah semena-mena, sesuka hati menghukum orang.” Laila semakin mendekat hingga badan Roy menyentuh dinding.
“Dan kamu, itu tidak pantas jadi ketua panitia, karena apa? Kamu hanya menyuruh bukan bekerja sama,” bentak Laila.
“Hukuman kamu jadi lima kali keliling lapangan, kerjakan atau kamu tidak ikut acara ulang tahun organisasi kita besok,” ucap Roy yang berhasil membuat Laila terdiam, dia mundur beberapa langkah, dan Roy pergi begitu saja. Semua orang yang berada di aula melihatnya dengan iba, termasuk aku yang juga tidak tega melihatnya.
“Kenapa pada ngelihatin, mau ikutan keliling lapangan juga?” bentak Laila yang kemudian pergi, aku melihatnya berlari menuruni tangga dan menuju lapangan. Dia berdiri di pinggir lapangan itu. Laila, tingkahmu itu yang membuatku semakin penasaran.
“Aaaaah!!” teriaknya setelah menarik napas dalam-dalam, dan dia mulai berlari mengelilingi lapangan. Aku hanya dapat tersenyum melihatnya. Aku pun mengambil botol minum, lalu permisi pada Roy untuk ke luar sebentar. Mana mungkin tega aku melihat orang yang ku suka harus seperti itu. Dan hanya Laila yang sanggup menerima tantangan itu tanpa menolak lagi. Mungkin aku tak salah jika aku menyukaimu.
Aku berdiri di pinggir lapangan, bersyukur karena cuaca sedang bersahabat, semilir angin mungkin dapat menyejukkan hati yang sedang emosi. Dia tak melihatku sama sekali, mungkin karena terlalu fokus untuk meluapkan emosinya. Sudah lima kali ia keliling lapangan, ia berjalan ke tengah lapangan. Meluruskan kakinya lalu berbaring menatap matahari yang tepat di atasnya. Aku menghampirinya, dan berdiri di depannya untuk menutupi silau matahari. Dia menatapku.
“Oh, Rio, kamu ngapain ke mari? Entar kamu dihukum juga sama si Roy,” tanya Laila yang mengganti posisinya dengan duduk. Atu tersenyum dan ikut duduk di sampingnya. Ku berikan air minum yang tadi ku bawa. Dia menerimanya setelah menghembuskan jilbanya ke atas. “Cape?” tanyaku yang ternyata mengundang gelak tawanya.
“Hahaha, kamu nanya cape? Yaiyalah, mana ada orang yang keliling lapangan 5 kali bilangnya gak cape, ngawur kamu,” ucapnya terkekeh, ini adalah hal yang paling aku sukai, memandanginya saat dia tertawa.
Mungkin selama ini aku salah, hanya melihat perempuan dari tampangnya saja, hanya dari kecantikan. Karena pada waktu itu aku telah menemukan sebuah kebahagiaan jika melihat atau dapat dekat dengan perempuan yang cantik. Tapi sekarang, aku nyaman, nyaman berada di samping perempuan sederhana yang ramah dan bersahabat. Yang selalu membuat segalanya menjadi ramai karena suaranya.
“Hei, ngelamun ya?” tanya Laila yang menyenggol lenganku, aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
“Hmm, kamu kok mau disuruh lari 5 kali keliling lapangan? Padahal kan kamu tadi hanya disuruh sekali untuk keliling, kenapa gak minta hukuman yang pertama aja?” tanyaku yang mengalihkan pertanyaan, aku tidak ingin dia curiga karena ku perhatikan tadi.
“Rio, aku ini bukan seorang pengecut. Hukumanku itu 5 kali karena sudah mendorong, mengancam, bahkan membentaknya. Dan yang paling utama aku telat, jadi kenapa aku harus menawar lagi?” jawabnya. Aku mengangguk paham dan berdiri. Ku ulurkan tanganku.
“Ayo, kita harus kembali. Karena kita masih ada tugas.” ajakku, dia menggenggam tanganku dan berdiri. Kami pun kembali ke aula.

Aku dan Laila duduk di kursi yang menghadap panggung, melihat bagaimana penampilan hiburan untuk besok, dia menaikkan kaki kanannya ke atas lututnya. Dan menyenderkan tubuhnya di kursi tersebut. Tiba-tiba saja Kak Fara masuk dengan wajah kurang bersahabat. Dia meghampiri Roy yang berada di depan kami. “Roy, tadi kakak lihat Laila keliling lapangan, dan ada laporan karena dia terlambat, benar?” tanya Kak Fara yang berhasil membuat mata Laila membulat. Lagi-lagi dia menghembus jilbabnya ke atas.
“Oh God, apalagi? Apa aku akan disalahkan lagi?” gumamnya pelan.
“Iya, Kak. Dia terlambat dan gak izin sama Roy jadi Roy suruh aja dia keliling lapangan.” jawab Roy yang membuat Laila semakin geram, Laila mengepalkan tangannya.
“Kenapa kamu berbuat sesuka hati?” tanya Kak Fara yang berhasil membungkam mulut Roy, ku pikir Kak Fara akan membela Laila. Karena dari awal Laila sudah permisi akan terlambat. Aku juga melihat ke arah Laila yang sedang bingung dengan Kak Fara.
“Jawab kakak!” bentak Kak Fara yang tidak mendapat jawaban dari Roy. Roy sedikit panik, matanya mulai melirik entah ke mana. “Maaf Kak, Roy gak ngerti maksud Kakak apa,”
“Gak ngerti? Seharusnya kamu tanya dulu sama Kakak, dia sudah permisi belum, Kakak yakin dia pasti bilang kalau Kakak memberikan izin dia telat. Dan kamu, kenapa kamu sesuka hati menghukumnya? Kamu pikir lari keliling lapangan lima kali itu tidak cape?” jelas Kak Fara dengan nada tegas. Roy hanya bisa tertunduk. Dan Kak Fara pun pergi. Aku melihat Laila tersenyum puas.
“Hey ketua panitia!” panggil Laila kasar dari tempat duduknya. Roy berbalik menghadapnya.
“Sudah ku bilang kan? Makanya jangan jadi ketua yang hanya pamer sama jabatan, jadi semena-mena kan?” ejek Laila yang tampak bahagia. Sesaat kemudian dia tertawa. Roy berjalan mendekatinya. “Aku minta maaf,” ucap Roy pelan. Laila hanya tersenyum sinis, dia mengepalkan tangannya. Oh God, aku rasa dia akan menghajar Roy. Dan benar saja, dia mulai melayangkan pukulan ke pipi kanan Roy. Roy hanya bisa terpejam pasrah. Tapi… Apa yang terjadi? Kepalan tangan Laila berhenti di dekat pipi Roy, hanya berjarak sekitar 3 cm. Sesaat kemudian di menampar pipi Roy pelan.
“Hahaha, takut ya? Ah cemen banget. Tenang aja, udah aku maafin kok, hahaha,” ucapnya yang membuat kami tercengang, dia tertawa puas. Laila memang gadis yang penuh dengan kejutan.

Tiba di hari yang ditunggu, yaitu hari ulang tahun organisasi kami. Setiap panitia sibuk menyiapkan semuanya, mulai dari mengecek panggung, dekorasi yang dari semalam kami kerjakan dan juga menghitung jumlah makanan yang akan dibagikan. Dan aku, tugasku hanya mengiringi Laila menyanyi dengan gitar. Aku sangat senang mendapat bagian ini. Aku melatih kembali kunci-kunci gitar yang akan ku mainkan, agar pada saat acara nanti dapat berjalan dengan lancar. Sementara Laila masih didandani oleh Kak Elma di ruangan. 15 menit menunggu tiba-tiba saja aku terhenyak. Aku berjalan menghampiri Laila yang masih sibuk membenarkan gaunnya. Aku memperhatikannya, sangat memperhatikannya. Sesaat kemudian dia kembali menatapku.
“Hey, kenapa ngelihatin? Mau mengejekku ya?” tanya Laila seraya tertawa. Aku tersadar dan merasa malu karena telah memperhatikannya secara terang-terangnya. Aku rasa pipiku memerah. “Dihh, ngelamun lagi, kenapa sih? Gaunnya aneh ya?”
Aku tersenyum ke arahnya, “Tidak, cantik kok, tumben jadi wanita seutuhnya?” ledekku diiringi ketawa ringan, dia membulatkan matanya. “Sudah, ayo sebentar lagi acara dimulai.” Ajakku. Kami pun pergi ke belakang panggung untuk mempersiapkan semuanya. Kurang lebih satu jam kemudian, acara dimulai. Sebagai pembuka kami mepersembahkan sebuah lagu ulang tahun. Hatiku sangat senang dapat mengiringinya bernyanyi. Memperhatikannya secara diam-diam saat dia melantunkan lagu tersebut. Semoga nanti menjadi kebahagiaan untukku.

Acara berlangsung meriah hingga sore, saat acara selesai kami membereskan semua peralatan yang kami gunakan. Aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Apakah ini waktu yang tepat? Aku melihatnya ke luar ruangan dia telah mengganti pakaiannya, aku tahu dia sangat tidak betah memakai gaun seperti tadi. Namun itu permulaan yang bagus untuk cewek tomboi seperti dia. Aku mengambil gitar dan menghampirinya.
“Lagi sibuk? Ada waktu?” tanyaku, dia memutarkan kedua bola matanya.
“Mau ngajakin jalan ya?” tanyanya bergurau, kami tertawa bersama.
“Jawab aja dulu,”
“Hmm, gak ada, kenapa?” tanyanya yang penasaran, aku langsung menarik tangannya.
“Ikut aja.” Ajakku.
Kami ke luar dari aula dan menuju lapangan. Detak jantungku semkin cepat bahkan tak beraturan. Biasanya ketika aku ingin menyatakan perasaanku, aku tidak merasakan apa-apa bahkan biasa saja. Tapi entah mengapa kali ini sangat… sangat berbeda. Kami duduk di tengah lapangan. Dia tidak banyak protes. “Aku punya lagu untukmu, ini lagu dari penyanyi favorit kamu.” Kataku yang mebuatnya bingung. Aku mulai memetik gitarku. “Oouohhh, oouohh, oouuaah ahh, oouuaaah,” Laila tersenyum mendengar awalan ku bernyanyi. Dia sudah menebak lagu apa yang akan ku nyanyikan.
“I always knew you were the best, the coolest girl I know, So prettier than all the rest, the star of my show
So many times I wished, You’d be the one for me, But never knew you’d get like this, girl what are you do to me
You’re who i’m thinkin of, girl you ain’t my runner up, And no matter what you’re always number one
My prize posession one and only, Adore you girl I want you, the one I can’t live without, That’s you, that’s you
You’re my special little lady, the one that makes me crazy, Of all the girls i’ve ever known, it’s you… it’s you My favorite, my favorite, my favorite, my favorite girl.. my favorite girl.”
~Justin Bieber – Favorite Girl~
Aku menghentikan laguku, aku melihat senyum yang mengembang dari dua sudut bibirnya.
“Itu kan lagunya Justin Bieber, kok kamu bisa tahu aku Belieber?” tanyanya. Aku hanya tersenyum.
“Iya, itu lagu dari penyanyi favorit kamu. Jelas aku tahu, di laptop kamu semua gambar JB di hp kamu juga gitu, kamu selalu nanyi lagu JB, di Facebook dan twitter kamu banjir dengan tag foto JB sama retweet dari tweetnya JB.” Ucapku menjelaskan. Dia tertawa, mungkin dia merasa lucu karena aku tahu semuanya.
“Kamu stalking aku ya, hehe, jadi kenapa kamu pilih lagu favorite girl?” tanyanya, inilah pertanyaan yang paling aku tunggu. “Karena kamu itu my favorite girl.” jawabku to the point. Laila langsung terdiam. Raut wajahnya berubah drastis, tidak ada senyum di wajahnya.
“Aku? A..aku?” tanyanya terbata. “Gimana bisa? Yang aku tahu kamu itu mengejar cewek-cewek cantik. Yo, aku ini gak cantik loh, feminim aja gak,”
“La, aku udah ubah persepsiku yang itu, aku suka kamu La, mau gimana pun kamu.”
“Hmm, sejujurnya aku juga gitu Yo, dari awal kita masuk organisasi ini, tapi yang aku lihat kamu sibuk kenalan sama teman aku, sibuk mau deketin dia. Ya aku woles aja sih. Dan jalanin semuanya biasa aja. Mungkin yang kamu cari memang gadis yang cantik.” Penjelasan Laila meyakikanku kalau cintaku tidak akan bertepuk sebelah tangan.
“Jadi…”
“Tapi…” ucap kami bersamaan.
“Kamu aja duluan La,”
“Oh, iya. Tapi Yo, maaf aku gak bisa balas perasaan kamu sekarang. Atau nantinya kamu nembak aku buat jadi pacar kamu. Maaf aku gak bisa Yo. Walaupun aku berandal atau gayaku yang kadang menyalahi kodrat. Aku diberi amanah untuk istiqomah hingga menikah. Jadi maaf.” Jelas Laila yang berhasil membuatku membisu. Tenggorokanku rasanya tercekat. “Maaf ya Yo, tapi kan kita bestfriend. Tenang aja… dimana ada Rio pasti ada Laila. Aseeekkk!!” ucapnya bercanda. Dia memukul pundakku. Aku mecoba mengembalikkan ekspresiku seperti semula.
“Iya, gak masalah kok, aku bisa mengerti, ya udah mau aku anter pulang?” tanyaku. Laila berdiri dan merapikan jilbabnya. “Itu yang aku tunggu-tunggu, yuk pulang.” Ajaknya yang membuatku tertawa, tingkah polosnyalah yang membuatku yakin akan perasaanku. Dan dari Laila juga belajar untuk tidak memandang cewek hanya dari paras. Laila, Insya Allah aku akan menunggumu.
“Hmm, btw. Besok-besok nyanyikan lagu yang lain ya, Justin Bieber juga.” Ucapnya pelan, aku hanya tersenyum. Kami pun berjalan menuju parkiran dan pulang.
- Rio, semoga kamu mau menungguku, (Laila)

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta-romantis/favorite-girl.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar